by: Khabibul Umam - Mahasiswa Ilmu Perpustaakaan Fakultas Adab dan Ilmu Budaya UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Rabu, 21 Maret 2018

Ringkasan Kuliah Umum Prodi Ilmu Perpustakaan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Tahun 2018


"Pengembangan Library Information System dan Dampak Digital Disruption Terhadap Kepustakawanan"
Pemateri    : Putu Laxman Pendit, Ph.D
Moderator  : M. Sholihin Arianto, S.Ag., SS., M.Lis.


Rangkuman:
   Pada kuliah umum tersebut bapak Putu Laxman Pendit, Ph.D atau yang lebih sering disapa Pak Putu menyampaikan materi yang disampaikan dalam bentuk powerpoint dengan judul Disruption Technology & Disruption Innovation.
     Sebelum menjabarkan lebih lanjut mengenai disruption technology dan disruption innovation, Pak Putu lebih dulu menjelaskan tentang maksud dari kata disruption. Dari penjelasan Pak Putu disruption lebih sering diartikan sebagai kekacauan. Namun, pemaknaan yang lebih tepat dari istilah disruption menurut Pak Putu adalah kegamangan (menurut Kamus Bahasa Indonesia berarti kekhawatiran terhadap sesuatu). Dari penjelasan tersebut, penulis memahami bahwa maksud dari disruption adalah kekhawatiran terhadap sesuatu yang dapat mengakibatkan kekacauan dan berakibat pada berkurangnya atau mundurnya sesuatu.
     Setelah menjelaskan tentang maksud dari disruption tersebut, Pak Putu melanjutkan pemaparan materi sesuai dengan powerpoint yang sudah disiapkan. Pertama Pak Putu menjelaskan tentang disruption technology. Setelah mengetahui maksud dari istilah disruption, tentunya kita mendapat gambaran tentang istilah disruption technology. Menurut pemaparan Pak Putu, disruption technology adalah kegamangan terhadap perkembangan teknologi. Dimana kekhawatiran tersebut pada umumnya dialami oleh perusahaan-perusahaan yang bergerak dibidang teknologi. Sebab dengan adanya perkembangan teknologi yang sangat pesat, maka siap tidak siap, suka tidak suka akan ada teknologi yang tergeser karena sudah digantikan dengan teknologi yang baru. 
     Pak Putu memberikan contoh pada perkembangan penyimpanan data elektronik. Pada mulanya penyimpanan file elektronik terutama musik lebih banyak disimpan di piringan hitam. Karena adanya perkembangan teknologi maka piringan hitam tersebut beralih menjadi CD. Piringan hitam yang dulunya menggunakan jarum yang dialiri listrik untuk membaca file yang ada didalamnya, kini pada teknologi CD menggunakan laser untuk membaca file yang ada di dalam CD. Dengan adanya CD tersebut maka piringan hitam sudah tidak digunakan lagi. Kalaupun digunakan cuma sebagai koleksi barang antik. 
     Pada tahap yang lebih lanjut teknologi CD tersebut juga digeser lagi oleh flashdisk. Dan akhir-akhir ini teknologi flashdisk ataupun harddisk sudah mulai digantikan oleh penyimpanan awan atau Cloud. Adanya pergeseran-pergeseran dari teknologi yang lampau beralih pada teknologi yang baru inilah yang dimaksud dengan disruption technology. Sebenarnya, teknologi yang baru tersebut tidak sepenuhnya beda atau seratus persen baru. Teknologi yang baru tersebut pada prinsipnya memiliki sistem kerja yang sama dengan teknologi yang sebelumnya. Ada beberapa firut-fitur tambahan yang lebih dari fitur-fitur teknologi yang sebelumnya, baik itu prosesnya, kapasitasnya, fungsinya, dan lain sebagainya.
     Pembahasan selanjutnya yaitu tentang disruption innovation. Menurut pemaparan Pak Putu, adanya pergeseran-pergeseran teknologi tadi sebenarnya terjadi bukan karena adanya teknologi yang lebih canggih. Namun, karena adanya inovasi-inovasi baru yang menyertai perkembangan teknologi yang sudah ada. Sehingga, karena adanya inovasi lah pergeseran-pergeseran teknologi terjadi. Dan faktor inovasi inilah yang sebenarnya menjadi faktor kekhawatiran atau disruption.
     Kaitannya disruption technology dan disruption innovation tersebut dengan perkembangan perpustakaan adalah karena kedua disruption tersebut memiliki ruang lingkup yang sangat luas dan bisa diterapkan juga di perpustakaan. Adanya penerapan teknologi di perpustakaan tersebut yang pada akhirnya memunculkan istilah Digital Library. Hubungan lebih lanjut antara perpustakaan dengan teknologi menurut Pak Putu digambarkan menurut diagmram gambar sebagai berikut. 

     Skema tersebut dirurutkan dari bawah. Yaitu dimulai dari kebebasan/keleluasaan akses, kecerdasan bersama, penghargaan kepada privasi, serta dibarengi dengan sumberdaya, termasuk manusia dan biaya. Aspek-aspek inilah yang menjadi pondasi dan prinsip utama dari munculnya perpustakaan. Setelah adanya pondasi tersebut, perlu diadakannya organisasi dan manajemen untuk mengelolanya. Tidak hanya pada manajemen dan organisasinya saja, aspek-aspek pokok tadi juga harus ada sarana meliputi gedung, perabotan, perangkat, dan lain sebagainya. Sampai disini hasil yang muncul adalah perpustakaan konvensional. Karena adanya perkembangan teknologi tadi, maka perkembangan teknologi tersebut diintegrasikan dalam perpustakaan. Baik itu melalui sistem informasi, portal, search engine dan lain sebagainya. Dengan demikian, maka perpustakaan akan memiliki dua ruang, yaitu ruang fisik yang meliputi interior, rak buku, ruang baca, dan lain sebagainya. Serta ruang maya yang meliputi website, portal, apps, dan lain sebagainya. Nah pada akhirnya, semua sarana prasarana tersebut bertujuan pada kemudahan akses yang memudahkan kita dalam kegiatan membaca, menulis, memirsa, mengambil, mengirim, dan lain sebagainya. 
     Setelah menjelaskan tentang disruption technology dan pengaruhnya terhadap perpustakaan, Pak Putu menjelaskan tentang Semantic Web. Semantic Web adalah sebuah konsep tentang bagaimana agar perpustakaan dan institusi lainnya berupaya untuk mengumpulkan, mengaitkan, dan memakai bersama data melalui internet. Menurut sepemahaman penulis, konsep Semantic Web ini adalah penerapan jaringan internet di dunia nyata. Penerapan tersebut dilakukan dengan mengklasifikasikan informasi-informasi yang ada di sekitar kita entah itu benda, percakapan, kejadian, dan lain sebagainya lalu mengkaitkan informasi-informasi yang sudah dikumpulkan tersebut agar bisa digunakan bersama-sama. Proses pengaitan satu informasi dengan informasi lain ini disebut sebagai Linked Data.
     Sebenarnya selain pembahasan-pembahasan di atas, masih banyak materi yang ingin disampaikan Pak Putu. Namun, karena keterbatasan waktu sehingga penyampaian materi yang lainnya kurang maksimal. Kuliah umum tersebut dilanjutkan dengan sesi tanya jawab. Terdapat tiga penanya yang bertanya. Diantara pertanyaan yang diajukan adalah tentang sistem pendidikan yang seperti apa agar SDM Ilmu Perpustakaan bisa lebih siap dalam menghadapi disruption technology serta pertanyaan diluar pembahasan yang menanyakan tentang alasan mengapa Pak Putu masih mempertahan kan status WNI nya padahal sudah menjadi dosen di RMIT University Melbourne Australia.
     Untuk pertanyaan mengenai sistem pendidikan yang bisa menghasilkan SDM yang siap menghadapi disruption technology Pak Putu memberikan jawaban agar sistem pendidikan di Indonesia tidak terfokus pada teknisnya saja, tapi lebih ditekankan untuk mengenalkan jati diri mahasiswa ilmu perpustakaan terlebih dahulu. Sehingga saat mahasiswa ilmu perpustakaan ditanya mau jadi apa mereka akan bisa mnejawab karena mengetahui jati dirinya. Pada pertanyaan kedua Pak Putu memberikan alasan yaitu beliau mendapat gelar doctor karena dibiayai oleh Negara, dan lagi di Australia keilmuan tentang perpustakaan sudah berkembang dengan pesat, oleh karena itu, pak putu ingin membagikan ilmu dan pengalamannya di Australia kepada generasi muda di Indonesia.

Minggu, 04 Maret 2018

Budaya Nge”Band” Pemuda Jaman Now




Salam literasi gaes... :D. 
Pada kesempatan kali ini admin Be Librarian Blogspot dapat tugas mata kuliah IDKS (Informasi Dalam Konteks Sosial) nih, untuk membahas tentang kebudayaan. Kebetulan karena lagi kuliah di kota yang mendapat julukan  Kota Budaya alias Yogyakarta bukan hal yang sulit untuk mencari kebudayaan-kebudayaan yang ada di masyarakat Jogja. Teman-teman sekelas mimin berpikir tentang budaya teater. Bahkan banyak juga yang menyisihkan uang sakunya untuk nonton teater. Dan kayaknya sebagian besar teman-teman mimin mengulas tentang teater. Sepintas mimin jadi terpikir, “bukankah yang namanya kebudayaan itu adalah kehidupan dari masyarakat itu sendiri?” “tidak harus dari pementasan teater kan??”. Mimin lalu terinspirasi untuk mencari topik kebudayaan dari angkringan Stasiun Tugu. Setelah mimin amati kembali ternyata banyak kebudayaan yang bisa diulas dari tempat ini. Namun, mimin lebih tertarik pada perfonmance band jalanan. Alasannya adalah pertama, karena banyak yang mementaskan Band jalanan. Kedua, karena lagu-lagu yang dibawakan tidak hanya lagu-lagu Indonesia, tapi juga lagu-lagu luar negeri dan hampir semua genre lagu bisa dimainkan. Ketiga, apakah ada unsur budaya lokal dalam pementasan band jalanan tersebut?.

Untuk mengerjakan tugas tersebut, mimin melakukan observasi dan wawancara di sekitar angkringan Stasiun Tugu. Adapun hasil wawancara tersebut mimin tuangkan dalam paragraf narasi berikut ini.
Mimin mewawancarai seorang penyanyi sekaligus pemain gitar yang bernama Mancar. Beliau berasal dari Bantul, usianya 23 tahun. Dari hasil wawancara diketahui bahwa mas Mancar ini belajar bermain gitar sejak masih SD. Keseharian mas Mancar pada siang hari adalah bekerja sebagai wiraswasta, pada malam harinya mas Mancar mencari tambahan dengan manggung nge band di sekitar angkringan Stasiun Tugu.
Dari pengakuannya, mas Mancar melakukan kegiatan ini tidak hanya karena ingin mencari tambahan, namun karena mas Mancar sendiri suka menghibur orang dengan bernyanyi. Banyak genre lagu yang bisa dibawakan mas Mancar.  Ada genre pop, rock N Roll, dangdut, dan lain sebagainya. Biasanya mas Mancar mempelajari satu atau dua lagu dari tiap penyanyi atau grup band yang sudah merilis album mereka. Untuk lagu-lagu tradisional misalnya seperti genre keroncong, mas Mancar belum bisa membawakannya karena kuncinya yang sulit dan karena tidak ada yang mengajari. Selain itu, karena kelompok nge band tiap malam yang berbeda juga cukup menyulitkan mas Mancar. Ternyata kelompok band jalanan yang ada di daerah Stasiun Tugu bukanlah grup paten, setiap malam mereka selalu berganti anggota grup tergantung pada siapa yang hadir malam itu.

Menurut pendapat mimin sendiri, tidak masalah jika membawakan kebudayaan-kebudayaan dari daerh lain untuk ditampilkan. Selama kebudayaan itu adalah kebudayaaan yang baik dan tidak menyimpang dari norma agama dan norma social tidaklah masalah. Keudayaan tersebut harusnya lebih diperhatikan agar hasil dari akulturasi budaya tersebut bias menghasilkan suatu kebudayaan lain yang lebih baik dari kebudayaan sebelumnya. Dan lagi, yang namanya kebudayaan itu kan tergantung dari pelaku kebudayaan itu sendiri. Sehingga benarpun aslinya kebudayaan tersebut adalah kebudayaan dari daerah lain atau bahkan negara lain, justru hal tersebut akan memperkaya kebudayaan yang sudah karena karakter dari pelaku kebudayaan tersebut masih pada karakter kebudayaan asli dari daerah asal pelaku kebudayaan yang bersangkutan. Malah karakter asli tersebut diintegrasikan dalam kebudayaan baru yang cenderung dikenal oleh banyak kalangan.


Sekian ulasan kebudayaan dari mimin. Apa yang mimin sampaikan di atas adalah sebuah opini semata. Mimin tidak bermaksud untuk menjatuhkan atau merugikan pihak manapun. Apabila ada tutur kata mimin yang kurang berkenan mohon dimaafkan….