by: Khabibul Umam - Mahasiswa Ilmu Perpustaakaan Fakultas Adab dan Ilmu Budaya UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Jumat, 08 April 2016

Cerpen Motivasi


Preman Panutan
Oleh: Khabibul Umam (MAN Demak)
“Kkriiing.... kkriiing.... kkriiing” bunyi alarm jam beker pak Yasin membangunkannya dari tidur yang pulas, tepat 30 menit sebelum masuk jam kantor pak Yasin. Dengan perawakan wajahnya yang kusut belum mandi, hanya sekedar meyikat gigi, berbekal nasi bungkus dan sebatang roti, ia bergegas pergi ke kantor tempatnya bekerja di jalan Raden Fatah sebelah Kodim  TNI. Dasi yang masih longgar dan seragam yang masih lungsut menjadi ciri khas pak Yasin saat bekerja di kantor Direktorat Jendral Pajak.
“Yasin kamu kog telat lagi kenapa?” tanya salah seorang teman pak Yasin.
“Biiasa, tadi bangun kepagian, jam 02.30” jawab pak Yasin dengan wajah cuek.
“Lho kan bagus to pak, bisa bangun jam 02.30, bisa solat malam dulu. Terus apa hubungannya kog bisa telat” saut teman pak Yasin sambil terus memandangi wajah pak Yasin.
“Orang aku bangun cuman lagi ngempet aja kog, terus tidur lagi sampai kesiangan” bantah pak Yasin sambil terus berjalan meninggalkan temannya.
“Pak Yasin laporan yang saya pasrahkan kemarin gimana?, sudah selesai?” tanya pak Wagiyo selaku atasan pak Yasin saat berjabat tangan.
“Anu pak...anu...” jawab pak Yasin dengan gugup dan penuh rasa malu.
“Kog anu anu gimana?, cepat selesaikan, ni pak Danu sudah menunggu laporan sejak kemarin. Kalau nggak selesai-selesai saya pecat kamu...!!!” tegur pak Wagiyo.
“Iya pak, segera saya selesaikan...!!!” terus pak Yasin.
“Makanya Sin, kerja tu ya disiplin” ledekan dari teman pak Yasin.
“Disiplin-disiplin, emange Pramuka apa...!!!” jawab pak Yasin dengan jengkel.
“HAAAHHAAAAaaaa.....Ndang Tobato- Ndang Tobato” sambung teman pak Yasin.
Bergeser kesebalah rumah pak Yasin, selang waktu 2 jam kemudian bang Aan si preman-premanan (begitu kata teman-teman) bangun dari ranjang dengan mengangkat kedua tangannya yang kekar berotot dengan muka yang menyeramkan. Tak lupa bang Aan mandi pagi menjelang siang dan menghabiskan sarapan pagi yang alakadarnya tanpa lalapan. Dengan santainya bang Aan mangkal di pinggir jalan dekat pasar yang jadi pusat perdagangan dengan harapan mendapat penghasilan. Bang Aan juga kan butuh makan, iya nggak bang...
“Nang Aan tolong bantu nenek ngangkat karung ini nak...!!!” ujar nenek Ijah.
“Nek, udah berapa kali gue bilang, jangan manggil gue ‘nak’, panggil ‘abang’ dong nek ah gimanasih...??” jawab bang Aan agak ngambek.
“Iya-iya nak.., buruan angkat karungnya, sudah ditunggu pengepul tu di sono di pinggir jalan!!” jawab nenek Ijah sambil menunjuk sekumpulan karung.
“Tuu kan manggil ‘nak’ lagi...??” bantah bang Aan sambil mengangkat karung.
“Dari pada aku manggil ‘bang’ nanti dikira orang-orang pasar kita pacaran gimana? hayooo...!” saut nenek Ijah dengan wajah tersenyum.
“Oh iya ya, dari pada gue dikira pacaran sama nenek-nenek, hancur sudah reputasi gue sebagai preman-premanan”. Jawab bang Aan dengan matanya yang agak melirik.
“Makanya, nurut aja sama orang tua. Kamu memang cucu nenek yang baik, tiap hari selalu bantu ngangkat karung dengan tepat waktu, jadinya nenek nggak dimarahi mandor nenek” terus nenek Ijah.
“Emangnya gue cucu nenek?, ya iyalah gue bantu nenek, orang gue aja kuli panggul di pasar ini kan?” kata Bang Aan.
“Iya iya cuu. Nah ni upah elu, tapi punya kembalian 10 ribu nggak uange 50 ribu an?” nenek Ijah memberi upah.
“Sini gue tukarin di warung dulu” jawab bang Aan saat menerima upah.
“Bang Aan...?” panggil salah seorang pedagang dari belakang bang Aan.
“Iyaaa apa...??” jawab bang Aan dengan nada tinggi sampai-sampai nenek Ijah kaget.
“Ntar tolong angkatin kardus itu ya...??” terus si pedagang.
“Oce!!” jawab singkat bang Aan sambil jalan ke warung untuk menukarkan uang.
Di sisi lain, pak Yasin yang masih sibuk plus pusing bekerja diam diam keluar dari kantornya untuk jajan es kopi di warung dekat pasar. Maklum saja, banyaknya tugas yang masih numpuk di meja pak Yasin dengan interfal deadline yang berdekatan menjadikan pikiran pak Yasin penuh dengan rumus tak berujung. Ditambah lagi sikap pak Yasin yang suka sepele menjadikan warung kopi dekat pasar sebagai solusi alternatif pak Yasin saat kabur dari kantornya.
Tanpa disangka-sangka pak Yasin bertemu dengan tetangganya yang sedang menukarkan uang nenek Ijah, bang Aan. Tanpa adanya rasa malu dan rasa canggung pak Yasin bertanya kepada bang Aan.
“Bang Aan lagi apa bang?, mau ngopi juga ya?” tanya pak Yasin.
“Ogah.!, gue ni lagi nukar uangnya nek Ijah” jawab bang Yasin dengan mata melotot.
“Buat apa?” terus pak Yasin.
“Buat kembalian upah lah, uangnya kan kelebihan..!!!” jawab bang Aan.
“Ngapain dikembalikan?, tu kan cuman 10 ribu?, ambil aja, toh juga nenek Ijah sudah tua kan, nggak mungkin bisa menang melawan kamu, ambil aja...!!!” hasut pak Yasin.
“Iya ambil aja..!!!” terus orang-orang yang ada di warung.
“Nggak bakal.... Daripada gue harus merampas hak wanita tua gue lebih memilih untuk bobol bank aja sekalian, lebih gedhe uangnya, bisa langsung beli muka elu. Uang berapapun mudah gue cari, asalkan gue mau nekat. Lebih baik jadi preman-premanan dari pada preman beneran yang nyusahin sesama.” bantah bang Aan dengan lantang dan tegas.
Serentak semua yang ada di warung mendadak terdiam membisu. Pak Yasin yang merasa sangat malu menyembunyikan wajahnya dibalik gelas kopi yang diminumnya. Setelah mendengar perkataan bang Aan hati pak Yasin seolah-olah tersambar petir. Tubuhnya sangat gemetaran dan merenungi apa yang dikatakan bang Aan. Untuk sesaat pak Yasin terdiam memandangi gelasnya yang masih terisi kopi.
Belum sempat pak Yasin menghabiskan kopinya ia segera bergegas kembali ke kantornya. Tanpa banyak bicara kepada siapapun pak Yasin segera menghadap layar komputer yang telah dua jam ditinggalkannya. Pak Yasin masih gemetaran saat menggerakkan mouse komputernya. Bahkan ia sempat keliru menghapus data laporan yang belum selesai dibuatnya. Alhasil  pak Yasin semakin terdiam saat ditegur pak Wagiyo.
Sepulang kerja pak Yasin masih saja terdiam merenungi perkataan bang Aan, bahkan ia tak ingat makan dan main game online yang menjadi kewajiban pak Yasin sepulang bekerja. Seolah mendapat ilham dari Tuhan, pak Yasin terus menerus memikirkan  ucapan bang Aan. Dengan penuh pertimbangan dan bermodal nekat pak Yasin yang sebelumnya belum pernah berkunjung ke rumah bang Aan memberanikan diri untuk melangkah masuk ke halaman rumah bang Aan.
“Thok-thok...”bunyi pintu yang diketuk pak Yasin “Assalamu’alaikum...?”
“Assalamu’alaikum...?”
“Assalamu’alaikum...?”
Tidak sabar menunggu jawaban, pak Yasin menengok kedalam rumah bang Aan melalui jendela di samping pintu. Betapa terkejutnya pak Yasin saat mendapati bang Aan sedang solat berjamaah dengan ibunya. Pak Yasin sangat terkejut sampai-sampai tidak mendengar sapaan tetangga disamping rumah bang Aan.
“lagi apa pak Yasin?”. “pak Yasin?”. “pak Yasiiiin?”, “Ooo dasar pengung...!!!”
Pak Yasin yang teramat sangat merasa malu pada bang Aan lekas kembali pulang ke rumahnya. Malam itu menjadi malam yang panjang bagi pak Yasin, pada malam itulah pak Yasin untuk pertama kalinya mengerjakan solat setelah lima tahun ditinggalkannya. Teringat pada laporannya yang belum selesai, pak Yasin mengerjakan laporan tersebut hingga larut malam. Ia bertekad untuk menyelesaikan tugas yang sempat diselewengkannya.
Berbeda dengan biasanya pak Yasin berangkat lebih awal dengan penampilan yang sangat rapi. Bahkan teman-teman dikantornya sempat terheran-heran dengan tingkah teman sekantornya itu. Tidak hanya teman sekantor, pak Wagiyo yang  biasanya menagih laporan pada pak Yasin menjadi tersenyum karena laporan tersebut sudah diletakkan dimejanya.
Pak Yasin juga tidak lagi kabur saat jam kerja, bahkan ia lebih memilih untuk jajan bareng dengan temannya saat istirahat. Seperti biasa pak Yasin jajan di warung dekat pasar. Kebetulan waktu itu bang Aan juga sedang beristirahat di bawah pohon dekat warung. Dengan wajah pak Yasin yang menghadap ke bawah karena merasa malu, pak yasin mendekati bang Aan yang sedang leyeh-leyeh di bawah pohon.
“Istirahat pak Yasin?” sapa bang Aan dengan ramah.
“Iya bang. Kog sendirian bang, temen-temennya mana?” saut pak Yasin.
“Biasa...lagi pada maen kartu di bawah jembatan” jawab bang Aan.
“Lha abang nggak ikut maen juga” terus pak Yasin.
“Ah.., buat apa? toh kalaupun gue menang nggak ada nikmatnya” jawab bang  Aan.
Untuk sesaat pak Yasin terdiam. Dengan penuh rasa penasaran pak Yasin bertanya pada bang Aan
“Bang, banyak orang yang bilang sampean tu preman-premanan, tapi kog sikap abang malah kayak orang yang alim?, sampai-sampai aku tidak menyangka itu adalah sampean”
“Perawakanku emang kayak preman, tapi jangan sampai gue jadi preman beneran yang hanya menyusahkan orang. Gue punya pendirian yang selalu ku pegang, satu, jangan sampai telat membantu nek Ijah, dua, jangan sampai mengambil kembalian upah nek Ijah, dan yang terpenting jangan lupa solat jamaah dengan emak. Gue memang sengaja berperawakan preman karena gue nggak suka dianggap orang alim yang hanya bermodal peci putih” jawab bang Aan dengan tatapan yang serius
Tak lama kemudian pak Yasin kembali ke kantornya dan menceritakan semua kejadian yang dialaminya kepada teman-temannya. Tanpa diduga pak Wagiyo juga mendengar cerita pak Yasin. Pak Wagiyo tertarik pada kedisiplinan, kejujuran, dan ketegasan bang Aan. Hingga akhirnya pak Wagiyo meminta pak Yasin untuk mengajak bang Aan bekerja di kantor Direktorat Jendral Pajak kabupaten Demak.
Sejak bang Aan ikut bekerja bersama pak Yasin, mereka berdua sering bersama-sama dalam menjalankan tugas maupun saat tidak menjalankan tugas. Kini, pak Yasin dan bang Aan telah berubah. Mereka menjadi pasangan pekerja yang memiliki kedisiplinan, kejujuran, dan ketegasan yang tinggi. Bermodalkan sikap yang dimiliki keduanya, pak Yasin dan bang Aan menjadi pelopor gerakan anti korupsi bernama “STOP Korupsi, DJP Bisa...!!!” di kabupaten Demak. Mereka telah mengharumkan nama Direktorat Jendral Pajak kabupaten Demak di kancah propinsi Jawa Tengah. Sampai-sampai gubernur Jawa tengah memberikan penghargaan secara pribadi karena ketertarikan beliau pada kedisiplinan, kejujuran, dan ketegasan dari pak Yasin dan bang Aan.

“Saya sangat mengapresiasi dan merasa sangat bangga atas prestasi yang bapak-bapak torehkan, lebih-lebih pada pak Aan yang membuat saya sangat tertarik karena latar belakang kehidupan bapak. Kedisiplinan, kejujuran, dan ketegasan merupakan modal pokok dalam memberantas korupsi.” ujar gubernur Jawa Tengah.