by: Khabibul Umam - Mahasiswa Ilmu Perpustaakaan Fakultas Adab dan Ilmu Budaya UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Rabu, 30 Oktober 2019

Tulisan ke-18 ~ Motivasi menulis


(sumber gambar: wantedly.com)

#Jika hati yang gelisah bisa menghasilkan tulisan, hati yang gembira harus lebih bisa dong!

Menulis memang gampang-gampang susah. Meskipun setiap hari kita bisa membuat tulisan entah itu untuk membalas chat, membuat pengumuman, diskusi di grup, namun pada kenyataannya saat dihadapkan pada layar monitor ataupun kertas dan bulpen rasanya pikiran kembali kosong. Tidak tau apa yang akan ditulis dan ujung-ujungnya tidak jadi menulis. Tantangan yang tidak mudah memang. Tapi bukan berarti tantangan ini tidak bisa dikalahkan.

My enemy is me. Musuh bebuyutan kita saat menulis sebetulnya adalah diri kita sendiri. Pertarungan yang terjadi di dalam diri kita saat sedang berjuang menghasilkan tulisan adalah antara motivasi kita untuk menulis dengan rasa malas kita. Siapakah yang akan menang?, ya kita yang akan menentukan!. Baik itu rasa malas ataupun motivasi kita bisa mengaturnya. 

Caranya bagaimana?

Buatlah lingkungan yang mendukung untuk menulis. Salah satunya yaitu dengan mencari motivasi untuk menulis. Saat kita hanya punya setengah niat dan tidak ada faktor pendukung lainnya, mental kita tidak akan siap dengan julukan “penulis”. Dan yang selanjutnya akan terjadi bisa ditebak. Mandeg di tengah jalan. Amat disayangkan bukan?

Lalu, bagaiaman cara mencari motivasi menulis?. Jawabannya tanyakan pada diri kita sendiri. Apa yang ingin kita capai dari menulis. Kalau kita sudah tau apa yang ingin kita capai, kita tau tujuan kita maka sampaikan dan tanamkan tujuan itu  pada lingkungan sekitar kita. Agar suatu saat saat kita sedang menulis dan kita mandeg ditengah jalan maka lingkungan itu akan segera me-recharge motivasi kita untuk menulis. Bisa melalui orang tua, sahabat, atau orang terdekat.

Kalau aku, motivasiku adalah menulis untuk menyebarluaskan apa yang kutau pada dunia. Meskipun tidak sekarang aku merasakan dampaknya, tapi aku yakin suatu saat tulisan-tulisanku akan bermakna dan bermanfaat. 

Motivasiku adalah karena lillah, karena orang tua dan keluarga, dan juga karena dia.




____________________
Note: Tulisan dalam blogspot ini adalah opini, bijaklah saat ingin menggunakannya sebagai bahan rujukan.
Penulis: Khabibul Umam

Senin, 28 Oktober 2019

Kutulis doaku untukmu



(sumber gambar: makassar.tribunnews.com)

#Cukuplah aku dan Dia yang tahu ikhtiar dan doaku, kalaupun toh takdirnya pastilah akan ada jalannya

Tulisan adalah bahasaku, hidupku, doaku. Kalau disuruh memilih antara mengungkapkan lewat ucapan atau tulisan, aku lebih suka memilih tulisan. Melalui tulisan aku bisa mencurahkan segenap ideku tanpa takut melupakannya, dan jika suatu saat aku ingin mengingatnya kembali aku tinggal membacanya.
Namun, menulis itu gampang-gampang susah. Anganku sudah melayang kemari memikirkan ide yang akan kutulis, namun saat berhadapan dengan office word seolah aku amnesia. Tanganku kikuk tak mau menuliskan apa yang kupikirkan. Belum lagi saat suasana hati tak mendukung.
Usiaku baru menginjak 22 tahun, wajarlah kalau pikiranku masih labil. Soal idealisme, soal cita-cita, soal masa depan, sudah saatnya bagiku untuk serius memikirkannya. Apalagi urusan hati. Heeeeeh, bukan perkara mudah untuk menguasai keadaan hati yang tak karuan untuk mencurahkan tulisan. Lebih-lebih tulisan ilmiah, rasa-rasanya aku harus mengubah mode nonaktif untuk hatiku agar aku bisa menulis.
Yaa muqollibal quluub, tsabbit qolby ‘ala diinik. Hatiku tengah digundahkan oleh sebuah jalinan. Mungkinkah aku harus diam?!, mungkinkah aku harus berkirim pesan?!, mungkinkah harus kusegerakan?!. Lingkungan mendorongku untuk segera bergerak. Dan aku harus bersikap.
Dan inilah sikapku.


“Perhatian bukan berarti harus selalu berkirim pesan,
Tak bertanya kabar pun bukan berarti tak perhatian,
Kepercayaan menjadi awal sebuah komitmen,
Namun, komitmen tidak sesederhana itu,
Komitmen juga butuh ikhtiar,
Ikhtiarku…
Kutuliskan doaku untuku,
Dan juga untukmu,
Masih ada waktu,
Untuk berbenah diri,
Untuk memperkuat iman dalam hati,
Untuk memperdalam akhlak islami,
Ikhtiarku…
Bismillah, tawakkaltu ‘alaAllah…
Kupasrahkan semua pada-Mu…

Minggu, 27 Oktober 2019

Tulisan ke-16 ~ Menulis 91 tahun sumpah pemuda



(sumber gambar: alihamdan.id)

#Bertanah air Indonesia, berbangsa Indonesia, dan berbahasa Indonesia

Dari ketiga poin sumpah pemuda, berbahasa Indonesia merupakan sumpah yang menurut saya unik. Kenapa bahasa Indonesia bisa menjadi bahasa pemersatu bangsa Indonesia yang plural?. Bahasa merupakan komunikasi sehari-hari yang kita gunakan untuk berinteraksi social, itu artinya saat kita menggunakan bahasa Indonesia kita juga mendukung persatuan dan kesatuan Negara Indonesia, saat kita menggunakan bahasa Indonesia kita juga menerapkan sumpah pemuda yang digaungkan 91 tahun silam.
Pesatnya globalisasi seolah menjadi sebuah pesaing dalam penerapan bahasa Indonesia. Adanya bahasa Inggris sebagai bahasa internasional, ditambah dengan istilah-istilah gaul yang berkembang di era digital menjadikan kebudayaan berbahasa Indonesia yang baik dan benar kian jarang diperhatikan.
Bukan maksud saya untuk mengatakan bahwa bahasa selain bahasa Indonesia adalah jelek, tapi saat kita tidak bisa menghargai bahasa bangsa kita sendiri, bahasa pemersatu  yang disumpahkan oleh senior kita dulu, lalu siapa yang akan menghargainya?, mustahil juga bangsa lain akan menghargai bahasa Indonesia jika kita tidak menghargai bahasa indonesia itu sendiri.
Tidak hanya dalam bentuk oral, penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar dalam bentuk tulisan juga perlu. Terlebih jika untuk penentingan resmi dan formal. Boleh sesekali kita menggunakan bahasa Indonesia yang gaul dan kekinian dalam bentuk tulisan maupun oral, tapi jangan lupa memperhatikan situasi dan kondisinya. Agar semangat sumpah pemuda yang digaungkan oleh senior kita pada 27-28 oktober 1928 akan tetap menggema di hati bangsa Indonesia di masa yang akan datang.

Tulisan ke-15 ~ Tentang orisinalitas sebuah karya



(sumber gambar: kompasiana.com)

#Apakah tulisan yang sudah kita buat benar-benar tulisan kita, atau hanya sekedar “copas”?

Menulis merupakan bagian dari mencurahkan gagasan yang bersumber dari ide pemikiran. Beda orang beda kepala, beda juga pemikiran. Oleh karenanya sangatlah lumrah jika setiap individu memiliki sudut pandang yang berbeda dan melahirkan karya yang berbeda pula.
Namun, ada kalanya kita malas untuk memikirkan keunikan diri kita, kekhasan diri kita, orisinalitas diri kita sehingga dengan mudahnya copy sana copy sini, paste sana paste sini, dibumbui sedikit paraphrase dan walaa, karya itu kita akui sebagai tulisan kita. Jika memang ide atau tulisan orang lain yang kita jadikan sebagai referensi pendukung tidak lebih dari 25% (atau bisa jadi tambah atau kurang tergantung kebijakan masing-masing) karya kita maka sah-sah saja, dan tentunya menggunakan kaidah pengutipan yang benar, maka boleh jika kita mengakui tulisan itu adalah tulisan kita.
Lalu, apa sih pentingnya sebuah orisinalitas karya tulis?. Seperti yang diawal saya asampaikan, orisinalitas berasal dari keunikan atau kekhasan kita, itu artinya orisinalitas tulisan kita merupakan cerminan diri kita, jati diri kita. Selain itu, pelanggaran terhadap keorisinalitas karya tulis atau biasa kita kenal dengan istilah plagiasi merupakan bentuk kriminalitas dalam bidang penulisa, apalagi pada bidang akademik, bisa-bisa gelar sarjana yang telah kita dapat akan dicabut jika terbukti melakukan plagiasi.
Oleh karena itu, biasakan diri kita untuk menggunakan kaidah pengutipan yang baik dan benar, hindari kebiasaan copas yang berlebihan, serta percaya dengan kemampuan kita sendiri. Karena sesimpel apapun ide kita, itu adalah bagian dari kekayaan intelektual kita yang perlu kita sumbangkan pada dunia melalui tulisan.

Sabtu, 26 Oktober 2019

Tulisan ke-14 ~ Tidak adanya ide adalah ide



(sumber gambar: kompasiana.com)

#Akan ada masanya saat kita benar-benar kosong dan tidak ada ide lagi untuk menulis. Disaat seperti itu benarkah kta sudah berakhir?

Dalam sebuah tulisan ide layaknya ujung tombak. Yang akan menjadi garda terdepan dari tulisan kita, nyawa dari tulisan kita, dan inti (core) dari tulisan itu sendiri. Mustahil sebuah tulisan akan lahir tanpa adanya sebuah ide. Namun, akan tiba masanya saat kita benar-benar merasa kosong dan tidak tau akan menulis apalagi. Jika sudah demikian, akankah kita akan berhenti untuk menulis?
TIDAK
Beberapa waktu lalu, tepatnya tanggal 5 oktober saya mengikuti sebuah seminar yang diisi oleh Pak Ismail Fahmi. Dari penyampaian materi yang beliau sampaikan ada salah satu pernyataan yang membekas dipikiran saya, bahkan yang menjadi inspirasi saya untuk membuat tulisan ke-14 ini. Yakni “Tidak adanya data adalah data”. Awalnya saya bigung dengan maksud pernyataan itu, namun, setelah saya menyimak lebih jauh lagi barulah saya sadar. Ketidakadaan suatu data hakikatnya disitu masih ada data, meskipun data yang dimaksud di sini adalah “tidak ada data”. Itu artinya saat kita berpikir tidak ada sesuatu, ketidakadaan sesuatu itulah data.
Kemudian saya berpikir, saya tidak ada ide untuk menulis pada hari ini, jika saya masukkan permasalahan saya ini dalam pernyataan pak Fahmi tadi maka yang muncul adalah “Tidak adanya ide adalah ide”. Dari situlah kemudian saya berniat untuk menulis tulisan ini.
Inti dari apa yang ingin saya sampaikan adalah, saat kita berpikir bahwa tidak ada ide lagi bagi kita untuk menuis, hakikatnya ketidakadaan ide itu tetap bisa menjadi ide bagi kita untuk menulis. Sebab saat kita sudah bertekad untuk menulis seperti tulisan saya pada Tulisan ke-1 ~ Innamal A’malu Binniyah, jangan berpikir untuk berhenti ditengah jalan. Semua pasti ada jalannya saat kita mau mengusahakannya.


Kamis, 24 Oktober 2019

Tulisan ke-13 ~ Write to share



(sumber gambar: godtv.com)

#Pentingkah sebuah tulisan untuk di share?

Seberapa pentingkah sebuah tulisan untuk di share?, hmmm, kemudahan yang diberikan oleh teknologi informasi menjadikan kita sangat mudah untuk melakukan “kopas” atau “forward”. Tak perlu mengetikkan tulisan yang sudah kita baca dari awal hanya tinggal klik, klik, dan klik, jadi, tulisan yang kita dapat bisa dengan mudah kita share. Terlebih saat kita menerima sebuah berita atau informasi yang menurut kita menarik.
Tapi, tunggu dulu. Seberapa pentingkah sebuah tulisan untuk di share?. Sebelum menjawab pertanyaan ini perlu  kita ketahui bersama bahwa tulisan merupakan salah satu media untuk  menyampaikan suatu informasi kepada pihak lain. Bahkan kegiatan menulis ini sudah ada sejak zaman prasejarah. Tentunya dengan font dan abjad yang berbeda manusia purba menorehkan lukisan dan tulisannya pada dinding-dinding gua, kemudian berkembang menjadi menulis di atas batu, tulang atau daun, hingga menulis di atas kertas. Semua pengetahuan yang kita ketahui di masa kini juga bisa kita pelajari berkat adanya tulisan.
Jadi, bisa dikatakan bahwa pentingkah sebuah tulisan untuk di share? Jawabannya adalah IYA. Lalu, tulisan apa saja yang penting untuk dishare?, apakah tulisan bebas seperti ini juga penting untuk dishare?. Apapun tulisan itu, pastinya setiap tulisan layak untuk dishare, entah itu tulisan ilmiah, esai, opini, atau bahkan fiksi. Sebab setiap tulisan punya perannya masing-masing. Dan bisa jadi, tulisan kita yang mungkin kita anggap sepele bagi orang lain bisa menjadi sebuah pemacu motivasi. Sebut saja kita buat story motivasi lalu teman kita menjadi termotivasi setelah membacanya.
Pastinya sebelum menyebarluaskan informasi yang kita dapat atau kita punya perhatikan dulu tulisan itu mau kita bagikan kesiapa, waktunya kapan, tujuannya apa, agar tidak terjadi kesalah pahaman. Pastikan pula sebelum kita menyebarluaskan informasi yang kita dapat baik dari internet maupun social media, pastikan dulu dari mana sumbernya, apakah yang bersangkutan kompeten dibidangnya atau tidak, cek tanggalnya, selalu cek dan ricek agar tulisan yang kita sebarkan bermanfaat bagi orang lain.

Selasa, 22 Oktober 2019

Tulisan ke-12 ~ When will we start writing?



(sumber gambar: beritagar.id)

#Menjawab 5W1H dalam menulis (Part 3)

Bicara soal kapan maka tidak akan lepas dari bicara soal waktu. Sebagaimana yang kita tahu dalam sehari kita mempunyai waktu 24 jam. Atau saat kita bicara soal minggu, dalam seminggu kita punya waktu 7 hari. Dan bicara soal tahun, dalam setahun kita punya waktu 12 bulan. Dan pada lingkup yang lebih luas lagi. Yakni soal usia. Usia kita sudah berapa tahun, dan kira-kira akan sampai kapan?, tak ada yang tahu.
Pertanyaannya adalah selama waktu yang kita miliki tersebut, baik dalam satuan tahun, bulan, minggu, hari, jam, menit, atau bahkan detik, what will we do?, apakah kesempatan waktu yang Tuhan berikan pada kita sudah kita maksimalkan dengan baik?.
Oke, kita pasti akan berpikir bahwa kesempatan waktu yang kita miliki itu harus kita maksimalkan semaksimal mungkin, bahkan jangan sampai ada celah bagi aktivitas yang kurang bermanfaat. Tapi tunggu dulu, bukan kah jika kita terlalu ketat seperti itu, ujung-ujungnya adalah kita mendholimi diri kita sendiri?, pikiran kita terlalu fokus memikirkan target yang harus kita penuhi tanpa ada akhirnya, sedangkan pikiran kita juga butuh refreshing dan tubuh kita butuh istrahat. Lantas bagaimana?
Bak judul lagu “indah pada waktunya”. Kalimat "indah pada waktunya" memberikan kesan pada kita bahwa semua ada porsi waktunya masing-masing. Saat kita sedang bekerja, maka fokuslah untuk bekerja, saat kita sedang sekolah, fokuslah untuk menerima pelajaran, saat kita refreshing, fokuslah untuk bersenang-senang.
Begitu juga dengan menulis. Apakah menulis itu harus dilakukan pada waktu pagi, siang, atau bahkan malam?. Bukankah tidak ada standar baku yang berlaku untuk waktu menulis kan?. Maka kapan pun selama kita niat untuk menulis ya menulislah. Cari waktu yang bisa kita manfaatkan untuk menulis. Sesibuk apapun kita, mustahil kita tidak memiliki waktu senggang dalam kurun waktu 24 jam atau 7 hari. Pasti aka nada waktu selo. Diwaktu selo itulah, manfaatkan untuk hal yang positif seperti menulis karangan atau esai atau bahkan memo.
Lantas, tepatnya kapan kita harus memulai untuk menulis?. Soon, segera, bergegaslah. Semakin dini kita memulai menulis, semakin banyak karya yang akan kita hasilkan, semakin banyak waktu kita yang termanfaatkan, dan semakin banyak pula kita berbagi dengan menulis.

Senin, 21 Oktober 2019

Tulisan ke-11 ~ Ojo Rumongso Biso, Nanging Bisoho Rumongso



(sumber gambar: photos.edu.pl)

#saat kita berhasil lelalui tahap demi tahap dalam membuat tulisan dan pada akhirnya tulisan kita dilirik dan bahkan dipertimbangkan khalayak umum, jangan lupa bahwa kaki kita masih berpijak di bumi yang sama.

Tentunya menjadi sebuah kebanggaan tersendiri manakala kita berhasil membuat tulisan yang sesuai ekspektasi kita, lain daripada yang lain (sebut saja unik), mengandung pembahasan yang mendalam, mampu menarik perhatian publik, atau bahkan mampu menyabet gelar juara atau bisa juga diterbitkan di media massa. Ya jelas bangga dong!. Tulisan kita sesuai harapan kita, keluarga kita menyanjung kita, guru atau dosen kita memuji kita, atau bahkan ayang beb makin zeyeng dengan kita. Haha bucin :D
Tapi, tunggu dulu. Merasa bangga dengan hasil tulisan kita merupakan bentuk apresiasi terhadap tulisan kita sendiri. Dan seperti pembahasan saya pada Tulisan ke-10 ~ Menulis untuk Peduli , hal itu memang penting. Namun, jangan lupa untuk bersyukur atas apa yang telah kita dapat agar hasil itu bisa semakin berkembang (ingat, lain syakartum laaziidannakum).

Selain sebagai bentuk apresiasi terhadap karya kita, bersyukur atas tulisan yang telah kita tulis juga bertujuan untuk membumikan diri kita. Dengan kita merasa bersyukur itu artinya masih ada tulisan yang lebih hebat dari tulisan kita. Tulisan yang lebih unggul dari tulisan kita. Tulisan yang lebih menarik dari tulisan kita. Di atas langit masih ada langit. Perumpamaan tanaman padi, semakin berisi semakin menunduk. Untuk itulah kita harus bersyukur.
Sebab di atas langit masih ada langit, namun bumi yang kita pijak tetap sama. Mengakui keunggulan tulisan orang lain bukanlah merendahkan tulisan kita sendiri, justru sebaliknya. Saat kita tahu kelebihan tulisan orang lain bila dibandingkan dengan tulisan kita, maka suatu keniscayaan bila suatu saat tulisan kita akan mendekati atau bahkan selevel dengan tulisan orang lain yang kita akui keunggulannya.
Sebagaimana pepatah jawa mengatakan “Ojo Rumongso Biso, Nanging Bisoho Rumongso”, yang maksudnya kurang lebih, jangan merasa/mengaku sok bisa, tapi bisalah untuk merasa /mengaku. Di atas langit masih ada langit, namun, bumi tempat kita berpijak masih sama.

Minggu, 20 Oktober 2019

Tulisan ke-10 ~ Menulis untuk Peduli



(sumber gambar: quotesss.com)

#ada yang menulis untuk penelitian, ada yang menulis untuk pelampiasan, ada yang menulis untuk keuntungan, kita, mau menulis untuk apa?

Sering kali yang membuat kita merasa terbebani untuk menulis adalah kita menuntut tulisan itu untuk sesuai apa yang kita angankan. Semisal kita membayangkan tulisan kita akan digunakan untuk penelitian ilmiah, maka kita berangan-angan bahwa tulisan kita harus menjadi tulisan ilmiah yang membuat pembacanya takjub dan tercengang dengan inovasi yang kita munculkan di dalamnya. Atau jika kita akan menulis puisi ataupun syair, kita berangan-angan bahwa pembaca yang membaca tulisan kita akan terombang-ambing dalam buaian syair yang kita tulis. Atau bahkan, saat kita akan menulis tulisan untuk tujuan komersial kita berangan-angan bahwa tulisan kita harus menghasilkan profit sesuai yang kita harapkan.
Lantas, bagaimana jika ternyata tulisan yang kita hasilkan tidak sesuai “ekspektasi” kita?
Berekspektasi itu boleh, bahkan perlu agar kita memiliki wawasan yang luas saat kita akan menulis. Tapi jangan lupa untuk tetap membumi. Dalam artian, apapun yang ingin kita targetkan dari tulisan itu tidak melebihi kemampuan kita dan tidak berandai-andai yang tidak masuk akal.
Jika pada akhirnya tulisan yang kita hasilkan belum sesuai ekspektasi kita, ya tidak megapa. Ini masih bagian dari proses kita untuk berkembang dalam bidang kepenulisan. Toh apapun yang kita hasilkan tidak akan sia-sia. Saat kita berani berekspektasi tinggi namun hasilnya belum sesuai bayangan kita, setidaknya kita tau dimana letak kekurangan tulisan kita. Dan dari kekurangan pada tulisan kita yang sebelumnya bisa kita jadikan sebagai acuan untuk memperbaiki tulisan yang akan dibuat selanjutnya. Tidak hanya sekali-dua kali, bisa jadi bahkan sampai berulang kali hingga tulisan itu sesuai yang kita harapkan. Yah itulah proses.
Saat kita bisa mensyukuri tulisan yang kita tulis, maka pada saat itulah kita akan bisa membuat lebih banyak tulisan dengan kualitas yang lebih baik. Sebab “Lain syakartum laaziidannakum”, saat kita bersyukur atas apa yang kita punya maka Tuhan Allah akan menambah kenikmatan itu.
Maka dari itu, hargailah setiap tulisan yang telah kita tuliskan. Sebab dengan kita peduli pada tulisan kita, suatu saat keluarga, teman, atau bahkan dunia akan peduli pada tulisan kita.

Jumat, 18 Oktober 2019

Tulisan ke-9 ~ Amal Jariyah atau Dosa Jariyah Sepanjang Dunia Maya?, Pilih Mana?



(sumber gambar: news.berdakwah.net)

#Menulis di dunia maya terutama di sosial media sudah menjadi bagian dari keseharian kita. Sadarkah kita bahwa tulisan yang kita post di media social bisa mendatangkan keberuntungan, juga bisa mendatangkan petaka?

Salah satu hadits Nabi kita menyatakan “salamatul insan fi hifdzillisan” yang artinya kurang lebih keselamatan seorang insan terletak dari bagaiman dia menjaga lisannya. Berdasarkan hadits tersebut kita diajak untuk amar makruf nahi munkar dengan lisan kita. Menghindari ucapan-ucapan yang tidak berguna dan negatif, serta memperbanyak mengucapkan kalimat-kalimat yang positif dan bermanfaat.
Pada konteks dunia maya, tulisan kita lah yang pada umumnya menjadi perantara lisan kita. Sebut saja story WA ataupun IG, FB, twitter dan lain sebagainya.
Bedanya adalah saat kita mengucapkan secara langsung pernyataan yang kita ungkapkan paling-paling hanya bertahan beberapa hari atau beberapa minggu. Tapi saat kita menuliskannya di media social, ataupun bentuk tulisan digital yang terpost di tempat publik, maka tulisan itu akan terus ada selama kita tidak menghapusnya.
Masalahnya adalah, apakah tulisan yang kita post itu sebuah tulisan yang mengajak pada kebaikan, atau sebaliknya?. Jika tulisan itu berisi kebaikan dan mampu menginspirasi orang lain untuk berbuat baik juga maka bersyukurlah. Sebab wata’awanu alal birri wa taqwa, fastabiqulkhoirot, dalil-dalil itu mengajak kita pada kebaikan, bisa jadi kita mengajak kebaikan melalui tulisan yang kita post. Namun, jika tulisan itu berisi ungkapan negatif yang mengajak pada keburukan, apakah kita akan siap menanggung jika ada orang lain yang berbuat buruk akibat membaca tulisan kita?
Oleh karena itulah, tulislah apapun itu yang mengajak pada kebaikan, agar orang lain mengikuti jejak kebaikan dari tulisan yang kita post. Jika ada amal jariyah melalui tulisan di sosial media, mengapa memilih dosa jariyah di sosial media?

Rabu, 16 Oktober 2019

Tulisan ke-8 ~ Berjuang untuk menulis



(sumber gambar: Bayu Skak Daily Life-Thumbnail Youtube)

#Nggak sempet nulis karena sibuk?, benarkah?!!!

Sejak masih mengenakan seragam merah putih kita sudah dikenalkan dengan aktivitas catat mencatat. Bahkan kegiatan menulis menjadi salah satu tugas wajib dalam setiap jenjang pendidkan kita. Anehnya adalah, saat menulis untuk sekedar memenuhi permintaan guru untuk mencatat kita bisa melakukannya. Tapi saat kegiatan menulis itu diarahkan pada hal-hal diluar pembelajaran atau bahkan perkuliahan mendakak kita seolah menjadi orang paling sibuk di dunia?, kog bisa ya?!.
Seringkali alasan sibuk mejadi garda terdepan bagi seseorang yang punya keniatan untuk menulis tapi tulisannya tidak kunjung tertulis. Sesibuk itukah?, bukankah jika karena “sibuk” kita tidak bisa menyelesaikan tulisan kita itu artinya tidak akan pernah ada tulisan di dunia. Lah iya, karena semua orang punya kesibukan masing-masing. Haha. Lalu bagaimana solusinnya?
Pertama tanamkanlah mindset bahwa tulisan kita akan selesai, jika kita tidak punya motivasi untuk menulis lalu siapa yang akan menyelesaikan tulisan kita kalau bukan diri  kita sendiri?. Kedua, manajemen waktu. Saya tidak akan mneyarankan anda untuk membuat jadwal sehari harus sekian jam untuk menulis, dari jam sekian sampai jam sekian harus menulis, tidak!!, karena saya sendiri juga tidak bisa melakukan hal seribet dan sekaku itu. Manajemen waktu yang saya maksudkan di sini adalah luangkanlah waktu berapa menitpun yang kita punya untuk mencurahkan gagasan kita dalam tulisan. Kesibukan kita tak sama, jelaslah tidak bisa disamaratakan pada jam sekian kita akan bisa membuat tulisan. Dan bisa jadi jadwal aktivitas kita seharian full sudah penuh. Itulah mengapa saya mengajak anda semua untuk meluangkan waktu. Jika tidak meluangkan waktu jelas tidak akan ada waktu untuk menulis. Ya kan?!!
Aduh!, capek!, ngantuk!. Maklum jika kita mengeluh karena tenaga selama seharian penuh sudah dikuras. Namun saat kita harus tetap menyisakan sedikit waktu, pikiran, dan tenaga untuk menulis Justru di situlah letak perjuangannya. Berjuanglah untuk menulis, karena menulis juga butuh perjuangan.

Selasa, 15 Oktober 2019

Tulisan ke-7 ~ Menjawab 5W1H dalam menulis (Part 2)




#Dimana (where) kita akan menulis?.

Menjawab pertanyaan “Dimana kita akan menulis?” bukan soal tulisan kita akan diletakkan dimana. Lebih dari itu, “dimana kita akan menulis” merupakan jawaban dari salah satu alasan mengapa kita perlu menulis. Tujuan. Benar, tujuan. Tulisan kita akan kita tujukan kemana maka disitulah tempat bagi tulisan kita. Pandangan ini merupakan pandangan filosofis (menurut saya) mengenai unsur “where”.
Tidak hanya itu, realitanya kita juga perlu memikirkan, media apa yang akan menjadi perantara antara gagasan kita dengan karya tulisan kita. Jika pada jaman purba manusia menuangkan ekspresi gagasannya pada sebuah lukisan di dinding gua, lalu pada jaman nabi wahyu-wahyu yang diterima dituliskan pada batu, daun, atau bahkan pada tulang, selanjutnya pada awal peradaban digunakanlah daun papyrus sebagai media menulis, lalu berkembang menjadi kertas, dan sekarang, yang selalu tidak bisa lepas dari kehidupan kita yaitu teknologi.
Teknologi tidak hanya sekedar mempermudah aktivitas manusia (dalam hal ini adalah menulis), namun teknologi telah merubah pola pikir, sudut pandang, dan budaya kepenulisan. Tidak perlu menorehkan tinta pada kertas cukup dengan menekan tombol ataupun touchsreecn maka akan muncul tulisan yang kita inginkan. Tidak cukup sampai disitu, bahkan dengan suara pun bisa dikonversikan menjadi teks. Di era serba modern ini menulis bukanlah lagi aktivitas yang berat. Kapanpun dimanapun kita bisa membuat tulisan.

Didukung dengan perkembangan teknologi jaringan, tulisan apapun dengan mudahnya akan tersebar pada khalayak umum. Melalui soial media pun kita bisa membuat tulisan. Entah dalam bentuk caption, story, tagar, dan lain sebagainya. Tunggu-tunggu, bukankah sosial media adalah tempat untuk curhat, untuk berbagi cerita aktivitas sehari-hari, atau bahkan media promosi?, lalu mengapa kita menuliskan tulisan kita di sosial media?!.
Seperti apa yang pernah saya sampaikan pada Bagian ke-2 ~ Semua Bisa Ditulis, apapun itu Tulislah!, pengalaman, cerita, gagasan, tulislah!!!. Jika dengan menuliskan story atau caption pada sosial media bisa berarti lebih dari sekedar “tempat bucin” mengapa tidak kita maksimalkan?. Dimanapun itu, jadikan tulisan kita sebagai tulisan yang berarti dan bermanfaat.

Senin, 14 Oktober 2019

Tulisan ke-6 ~ Menjawab 5W1H dalam menulis (Part 1)




#What (apa)?, where (dimana)?, when (kapan)?, who (siapa)?, why (mengapa)?, dan how (bagaimana)? dalam menulis?

Menjawab pertanyaan “apa”. “apa yang ingin kita tulis?”. Ibarat seorang anak remaja yang mulai tumbuh dewasa, dimana dia akan mengalami masa pencarian jati diri. Demikian juga dalam dunia penulisan. Jika dalam sudut pandang sosial kita mencari jati diri untuk mengetahui dimana diri kita, berperan sebagai apa, posisi kita sebagai apa untuk kelangsungan hidup kita. Maka dalam sudut pandang penulisan kita juga harus mencari jati diri kita, untuk mencari identitas penulis dalam diri kita. Apakah kita penulis ilmiah, apakah kita penulis fiksi, apakah kita penulis esai, dan lain sebagainya.
Mengapa pencarian jati diri penulis dalam diri kita perlu kita anggap “penting”?. Kembali pada pertanyaan awal pada paragraf sebelumnya. “apa yang ingin kita tulis?”. Jika kita ingin melakukan sesuatu akan lebih baik jika kita tau diri kita terlebih dahulu. Seberapa kemampuan kita, apa passion kita, apa kelebihan kita, dan lain sebagainya. Jika sudah demikian, maka kita tidak akan salah jalan.
Apa yang akan kita tulis merupakan cerminan dari diri kita. Seorang pemikir, seorang pengamat, seorang pembicara dapat kita lihat dari gaya dan pola penulisannya. Untuk itulah menulis tidak hanya sekedar menorehkan tinta di atas kertas atau mengetikkan huruf pada layar monitor. Melainkan menulis adalah proses pengekspresian jati diri kita.
Kembali pada pertanyaan “apa yang ingin kita tulis?”. Tulislah apapun itu yang kita kuasai, yang kita nyaman disitu, dan tulisan yang mencerminkan diri kita dimata dunia.

Minggu, 13 Oktober 2019

Tulisan ke-5 ~ Menulis diatas batu karang




Note: Edisi tulisan saya kali ini akan sedikit berbeda dengan tulisan saya sebelumnya. Jika pada bagian sebelumnya hal yang saya tulis adalah mengenai persepsi saya soal kiat-kiat membuat tulisan. Maka pada edisi tulisan ini, dalam rangka memperingati Hari Museum sekaligus dalam ragka mengikuti lomba menulis artikel yang diadakan oleh Museum Bahari Indonesia, saya akan membuat tulisan berbetuk artikel bebas dengan tema kepenulisan dan kemaritiman.


Pepetah mengatakan “jika menulis di atas air maka tulisan itu akan hilang. Namun, jika menulis di atas batu maka tulisan itu akan abadi”. Menulis hakikatnya bukanlah aktivitas biasa, aktivitas administratif, atau bahkan aktivitas mengarang. Lebih dari itu, menulis adalah proses menuangkan sebuah gagasan dalam bentuk tulisan agar tulisan itu bisa abadi dan kita wariskan pada anak cucu kita. Lalu hal apa saja yang akan kita tulis?. Apapun. Semua hal pun bisa kita tulis. Termasuk juga tentang kemaritiman.
Pertanyaannya adalah “apa yang menarik dari kemaritiman sehingga kita harus menuliskannya?”. Coba kita ingat kembali pelajaran sejarah yang pernah diajarkan guru kita saat masih di sekolah. Sejarah bangsa Indonesia pun tidak bisa lepas dari kemaritiman. Apa sajakah sektor-sektor di Indonesia yang berhubungan dengan kemaritiman?. Pertama, Perantara penyebaran agama. Kerajaan-kerajaan yang ada di Indonesia pada masa lalu bisa menyebarluaskan agama yang dianutnya melalui jalur maritim. Bahkan kerajaan-kerajaan seperti Majapahit, Sriwijaya, dan Kerajaan Demak dikenal memilki pasukan angkatan laut yang tangguh. Kedua, jalur perdangan. Bangsa china dan india bahkan belanda sejak masa kerajaan di Indonesia masih berdiri sudah dikenal gemar melakukan perdangan di Indonesia melalui jalur laut. Karena ramainya jalur perdagangan ini lah yang menyebabkan perekonomian di bumi nusantara pada masa itu mengalami masa keemasannya.  Bahkan bangsa Indonesia dikenal sebagai poros maritim dunia pada masa itu.
Sayangnya, rendahnya minat masyarakat umum untuk menjaga warisan yang luhur itu memunculkan pandangan yang memandang sebelah mata dari sektor kemaritiman. Baik dari segi sejarahnya, potensinya, atau bahkan bisnisnya. Tragisnya laut bahkan dijadikan sebagai penampungan sampah limbah rumah tangga dan industri. Lantas bagaimana solusi atas permasalahan tersebut?.



Perseroan Terbatas Pendidikan Maritim dan Logistik Indonesia (PT PMLI) melalui IPC Corporate University merupakan salah satu alternatif solusi yang patut dipertimbangkan. Di tengah minimnya kepedulian masyarakat terhadap kemaritiman, IPC Corporate University yang merupakan anak perusahaan dari IPC mempunyai visi untuk mencetak SDM yang literate dalam bidang kemaritiman. Selain sebagai bekal bagi pegawai pelabuhan agar memiliki kompetensi kerja berstandar internasional, berdirinya IPC Corporate University juga berpotensi untuk diarahkan sebagai wadah untuk mencetak insan Indonesia yang cinta dengan kemaritiman. Hal ini sebagai salah satu upaya untuk melestarikan warisan luhur dari nenek moyang kita sebagai seorang pelaut.



Selain IPC Corporate University, Museum Maritim Indonesia yang masih dibawah manajemen IPC Group juga merupakan media yang tepat untuk senantiasa menyimpan, mengelola, dan menyebarluaskan wawasan, sejarah, serta pengetahuan tentang kemaritiman di Indonesia kepada khalayak umum. Melalui koleksi-koleksi yang tersedia di Museum Maritim Indonesia kelestarian nilai luhur bangsa indoesia sebagai bangsa maritim akan terus jaga dan bisa diturunkan pada generasi Indonesia yang akan datang.



Kita sebagai masyarakat umum tentunya juga harus mendukung upaya pelestarian, pengelolaan, dan penyebarluasan wawasan kemaritiman kepada publik. Menulis di blog bisa menjadi salah satu alternatif bentuk dukungan kita terhadap upaya pelestarian nilai kemaritiman di indonesia. Betapa berharganya nilai kemaritiman tersebut agar selalu kita jaga, jita rawat, dan kita wariskan pada generasi yang akan datang. Melalui sebuah tulisan sederhana pada blog pribadi kita masing-masing, niat mulia itu akan terwujud. Sebab menulis merupakan sebuah proses menorehkan sejarah. Ibarat menulis di atas batu karang.

Tulisan ke-4 ~ Menulis ada seninya




#Poin keempat. Saat kita telah memulai mengerjakan tulisan. Maka yang selanjutnya membayangi pikiran kita adalah “kapan tulisan itu akan selesai?”. Menulis adalah proses menuangkan gagasan. Di dalamnya ada seni yang berperan. Maka “kapan tulisan itu akan selesai?” jawabannya adalah relatif.

Layaknya seorang pelukis yang menggoreskan kuasnya di atas kanvas. Layaknya seorang pemain drama yang bahkan sampai menangis tersedu-sedu saat memainkan perannya. Atau bahkan layaknya seorang pematung yang mengikis sedikit demi sedikit batu keras agar menampakkan karyanya. Menulis juga bagian dari proses berseni. Di dalamnya ada jiwa seni yang bermain. Terlebih jika tulisan itu adalah tulisan sastra atau fiksi. Tulisan ilmiah pun jika tidak dibumbui dengan seni maka tulisannya akan terasa kaku dan memeras otak. Jika dalam tulisan ilmiah dibumbui dengan seni untuk memilih diksi yang tepat, dibumbui seni untuk menyusun kalimat yang efektif, dibumbui seni untuk membentuk paragraf yang padu dan berhubungan satu sama lain. Di situlah peran seni dalam menyajikan tulisan kita.
Kembali ke pertanyaan awal “kapan tulisan itu akan selesai?”. Jika menulis ada seninya, maka lihatlah dengan sudut pandang seni. Apakah sebuah karya yang elok bahkan karya agung dari sebuah seni bisa dipastikan kapan waktu pengerjaannya?. Jawabannya adalah relatif. Tergantung bagaimana jiwa seni dari masing-masing seniman. Bukankah akan sangat memberatkan jika saat kita tengah mengerjakan tulisan kita sendiri kita dikejar oleh waktu yang terus bergulir. Bisa jadi tulisan itu belum bisa kita jiwai karena mengerjakannya yang penting jadi. Nikmatilah proses saat kita menulis. Jangan membebani diri kita sendiri sehingga kita tidak bisa menghadirkan jiwa seni kita saat membuat tulisan.
Namun, adakalanya tulisan yang kita kerjakan harus selesai dengan rentang waktu sekian hari. Bukannkah ini akan memberatkan kita???. Tidak juga, bahkan bisa jadi sama sekali tidak memberatkan. Mengapa demikian?!. Memberatkan atau tidaknya tergantung dari bagaimana kita menyikapinya. Saat kita menganggap bahwa deadline waktu itu adalah sebuah tantangan yang harus ditaklukkan bisa jadi semangat kita akan menggebu-gebu untuk menyesaikan tulisan kita. Bahkan seringkali jiwa seni kita yang sebenarnya muncul disaat kita dikejar deadline.
Akan lebih baik jika kita tau bahwa kita membutuhkan waktu yang lama untuk menuangkan gagasan kita dalam bentuk tulisan, maka persiapkanlah tulisan kita sejak jauh-jauh hari. Namun, jika kita bisa tetap menyenikan gagasan kita dalam bentuk tulisan di bawah tekanan waktu, tak mengapa. Setiap orang punya jiwa seninya masing-masing. Temukan jiwa seni anda dalam menulis, karena menulis ada seninya.

Rabu, 09 Oktober 2019

Tulisan ke-3 ~ Mau jadi penulis, editor, atau bahkan komentator?




#Poin ketiga. Disaat anda sedang mengerjakan tulisan anda, tiba-tiba di tengah jalan anda mandeg karena merasa tulisannya tidak bagus, ada banyak kesalahan ini itu. Coba renungkan, “kita mau jadi penulis, editor, atau bahkan komentator?”

Seringkali di tengah proses penulisan tiba-tiba kita merasa minder dan merasa tulisan kita tidak layak untuk kita tulis, apalagi kita publish. "Teramat amat sangat disayangkan" jika kita sudah berani untuk memulai menulis tiba-tiba di tengah proses kita berhenti dan tidak menyelesaikan tulisan kita.
Coba kita pikirkan kembali, anggaplah bahwa dunia adalah subjektif. Kalau sudah demikian, maka pikiran kita tidak akan tersekat oleh pemikiran dan pandangan kita sendiri. Dalam sudut pandang subjektif, semua hal itu benar menurut masing-masing pengamat. Itu artinya, jika menurut kita tulisan yang kita tulis adalah jelek, bisa jadi menurut orang lain justru bagus, atau jika kita menganggap tulisan kita tidak menarik, bisa jadi menurut orang lain akan menarik, atau bahakan menurut kita tulisan kita tidak bernilai, tapi bisa jadi menurut orang lain tulisan kita bernilai. Itulah yang saya maksud dalam sudut pandang subjektif semua hal bisa berarti benar.
Pun semisal dari 10 orang pembaca 9 orang mengatakan tulisan kita jelek dan hanya satu orang yang mengatakan tulisan kita bagus, it’s ok. Syukurilah, masih ada  orang yang mengapresiasi tulisan kita. Atau bahkan dari 10 orang pembaca semua mengatakan tulisan kita jelek, syukurilah, masih ada orang yang peduli dengan tulisan kita dan mau membacanya.
Coba renungkan kembali, bukankah tujuan kita adalah untuk membuat tulisan?!, untuk menjadi penulis?!. Jika kita memang ingin menjadi penulis maka pekerjaan kita adalah menulis, menulis apapun itu ya kita tulis. Jika di tengah jalan kita melihat tulisan kita lalu mengomentari tulisan kita, memang kita mau jadi komentator?!. Atau ditengah jalan kita mengubah-ubah tulisan yang kita buat tanpa dasar yang kuat sehingga tulisan kita tak kunjung selesai, memangnya kita mau jadi editor?!. Pekerjaan seorang penulis ya menulis. Urusan penilain, koreksian, kritik saran, akan ada pihak lain yang akan melakukannya. Jadi, jangan takut untuk salah, jangan takut untuk menulis, karena niat kita ingin menjadi penulis.

Tulisan ke-2 ~ Semua Bisa Ditulis




#Poin kedua. Jenis-jenis tulisan ada banyak. Ada ilmiah, nonilmiah, dari karya ilmiah sampai prosa, hingga pantun, atau bahkan syair. Masihkah lingkup yang seluas dan selebar itu terasa sempit bagi kita?

Kebingungan karena menentukan tema atau bentuk tulisan?, bisa jadi anda setengah terbangun. Biasanya, orang yang punya tekat bulat untuk menulis maka dia akan melangkah pada tahap selanjutnya, yakni menentukan tema dan bentuk tulisan. Mengapa tema itu penting?, karena tema itulah yang akan menjadi outline tulisan kita. Arah dari tulisan kita akan kita ketahui dan kita terapkan saat kita punya tema tulisan. Dan mengapa bentuk tulisan itu penting?, karena bentuk tulisan yang akan menentukan tujuan dari tulisan kita untuk siapa, tujuannya apa, dan bisa jadi tujuannya adalah untuk mengapa. Bentuk tulisan kita juga yang akan menentukan posisi tulisan kita nantinya di  mana.
Sekarang coba imajinasikan. Saat kita mengerjakan makalah tugas sekolah atau tugas kuliah tapi makalah itu kita narasikan dengan bahasa syair. Ataupun sebaliknya. Saat kita diminta untuk pentas pada ajang sastra yang kita bacakan adalah laporan penelitian. Pastilah orang lain akan mengatakan “salah alamat” pada kita.
Pertanyaannya adalah,Tema dan bentuk tulisan apa  yang akan kita tulis?”
Saat kita naik tangga dari bawah ke atas pastilah kita akan menaikinya dari anak tangga terbawah naik satu anak tangga lagi di atasnya, naik satu tangga lagi di atasnya, naik satu tangga lagi di atasnya, hingga pada akhirnya kita sampai di atas tangga. Akan sangat aneh jika kita naik tangga tapi tiba-tiba kita sudah di tengah atau bahkan di atas.
Begitu juga menulis. Menulis adalah proses, maka dalam sebuah proses ada langkah-langkah atau tahap-tahap yang harus dilalui. Jika anda adalah penulis pemula jangan berharap tulisan anda akan setenar tulisan Habiburrahman el-Syarazy, atau senyentrik Cak Nun, atau sedalam Pramoedya Anantatoer.
Seperti pembahasan saya sebelumnya. Tulislah. Apapun itu, bagaimanapun bentuknya, pokoknya tulis. Semua hal bisa anda tulis. Pengalaman, gagasan, bahkan candaan, semua bisa anda tulis. Pokoknya tulis aja.  Sebab dengan anda menulis, maka gagasan, inovasi, bahkan kenangan anda tidak akan hilang. Dan suatu saat anda akan tersadar dan mengetahui passion anda dalam bidang menulis.

Selasa, 08 Oktober 2019

Tulisan ke-1 ~ Innamal A’malu Binniyah




#Poin pertama jika anda ingin menulis adalah dengan membulatkan tekad dan niat. Sebab jika anda masih setenga-setengah maka tulisan anda hanya akan setengah (jadi).


Sering kali calon penulis awam bertanya-tanya kepada penulis aktif, “bagaimana memulai menulis?” “apakah tips dan trik memulai menulis?” sampai “apakah motivasi terbesar untuk menulis?”. Dan pasti saat anda bertanya pada penulis yang berbeda bisa jadi jawabannya adalah beda. Mengapa demikian?, karena tulisan adalah cerminan diri kita, cerminan karakter kita. Apa yang kita tulis itulah apa yang kita pikirkan. Apa yang kita pikirkan itulah yang kita lakukan. Apa yang kita lakukan itulah kepribadian kita. Apa kepribadian kita itulah diri kita “apa adanya”.
Jika sudah demikian, apakah anda akan mendapatkan jawaban atas pertanyaan terbesar anda “bagaimana cara saya memulai menulis?”?. Syukurlah jika anda mendapatkan jawaban pertanyaan anda. Tapi, bagaimana jika anda belum mendapat jawaban?. Jawaban untuk pertanyaan “bagaimana saya akan memulai menulis?” adalah “lihat diri anda”. Tak perlu memikirkan apakah tulisan anda akan bagus, apakah tulisan anda akan dibaca orang, apakah tulisan anda akan bermanfaat. Tidak. Tidak perlu memikirkan perkara yang belum saatnya anda cemaskan. Jika anda betul-betul berniat untuk menulis maka motivasi terbaik adalah “tulislah”. Apapun hasilnya “tulislah”. Bagaimanapun bentuknya “tulislah”. Sebab jika anda terlalu jauh mengkhawatirkan tulisan anda maka tulisan anda tidak akan pernah tercipta. Motivasi menulis terbesar adalah “motivasi diri anda sendiri”. Jika bukan anda yang memotivasi diri anda untuk menulis lantas siapa lagi?. Maka dari itu “mulailah menulis”.