Rabu, 30 Oktober 2019
(sumber gambar: wantedly.com)
#Jika hati yang gelisah bisa
menghasilkan tulisan, hati yang gembira harus lebih bisa dong!
Menulis memang gampang-gampang
susah. Meskipun setiap hari kita bisa membuat tulisan entah itu untuk membalas
chat, membuat pengumuman, diskusi di grup, namun pada kenyataannya saat
dihadapkan pada layar monitor ataupun kertas dan bulpen rasanya pikiran kembali
kosong. Tidak tau apa yang akan ditulis dan ujung-ujungnya tidak jadi menulis. Tantangan
yang tidak mudah memang. Tapi bukan berarti tantangan ini tidak bisa
dikalahkan.
My enemy is me. Musuh bebuyutan kita saat menulis sebetulnya adalah
diri kita sendiri. Pertarungan yang terjadi di dalam diri kita saat sedang
berjuang menghasilkan tulisan adalah antara motivasi kita untuk menulis dengan
rasa malas kita. Siapakah yang akan menang?, ya kita yang akan menentukan!.
Baik itu rasa malas ataupun motivasi kita bisa mengaturnya.
Caranya bagaimana?
Buatlah lingkungan yang mendukung
untuk menulis. Salah satunya yaitu dengan mencari motivasi untuk menulis. Saat
kita hanya punya setengah niat dan tidak ada faktor pendukung lainnya, mental
kita tidak akan siap dengan julukan “penulis”. Dan yang selanjutnya akan
terjadi bisa ditebak. Mandeg di tengah jalan. Amat disayangkan bukan?
Lalu, bagaiaman cara mencari
motivasi menulis?. Jawabannya tanyakan pada diri kita sendiri. Apa yang ingin
kita capai dari menulis. Kalau kita sudah tau apa yang ingin kita capai, kita
tau tujuan kita maka sampaikan dan tanamkan tujuan itu pada lingkungan sekitar kita. Agar suatu saat
saat kita sedang menulis dan kita mandeg ditengah jalan maka lingkungan itu akan segera me-recharge motivasi kita
untuk menulis. Bisa melalui orang tua, sahabat, atau orang terdekat.
Kalau aku, motivasiku adalah
menulis untuk menyebarluaskan apa yang kutau pada dunia. Meskipun tidak
sekarang aku merasakan dampaknya, tapi aku yakin suatu saat tulisan-tulisanku
akan bermakna dan bermanfaat.
Motivasiku adalah karena lillah, karena orang tua
dan keluarga, dan juga karena dia.
____________________
Note: Tulisan dalam blogspot ini adalah opini, bijaklah saat ingin menggunakannya sebagai bahan rujukan.
Penulis: Khabibul Umam
Senin, 28 Oktober 2019
Kutulis doaku untukmu
Senin, Oktober 28, 2019 Khabibul Umam
(sumber gambar: makassar.tribunnews.com)
#Cukuplah aku dan Dia yang tahu
ikhtiar dan doaku, kalaupun toh takdirnya pastilah akan ada jalannya
Tulisan adalah bahasaku, hidupku,
doaku. Kalau disuruh memilih antara mengungkapkan lewat ucapan atau tulisan,
aku lebih suka memilih tulisan. Melalui tulisan aku bisa mencurahkan segenap
ideku tanpa takut melupakannya, dan jika suatu saat aku ingin mengingatnya
kembali aku tinggal membacanya.
Namun, menulis itu
gampang-gampang susah. Anganku sudah melayang kemari memikirkan ide yang akan
kutulis, namun saat berhadapan dengan office
word seolah aku amnesia. Tanganku kikuk tak mau menuliskan apa yang
kupikirkan. Belum lagi saat suasana hati tak mendukung.
Usiaku baru menginjak 22 tahun,
wajarlah kalau pikiranku masih labil. Soal idealisme, soal cita-cita, soal masa
depan, sudah saatnya bagiku untuk serius memikirkannya. Apalagi urusan hati. Heeeeeh,
bukan perkara mudah untuk menguasai keadaan hati yang tak karuan untuk
mencurahkan tulisan. Lebih-lebih tulisan ilmiah, rasa-rasanya aku harus
mengubah mode nonaktif untuk hatiku agar aku bisa menulis.
Yaa muqollibal quluub, tsabbit qolby ‘ala diinik. Hatiku tengah
digundahkan oleh sebuah jalinan. Mungkinkah aku harus diam?!, mungkinkah aku
harus berkirim pesan?!, mungkinkah harus kusegerakan?!. Lingkungan mendorongku
untuk segera bergerak. Dan aku harus bersikap.
Dan inilah sikapku.
“Perhatian bukan berarti harus selalu berkirim pesan,
Tak bertanya kabar pun bukan berarti tak perhatian,
Kepercayaan menjadi awal sebuah komitmen,
Namun, komitmen tidak sesederhana itu,
Komitmen juga butuh ikhtiar,
Ikhtiarku…
Kutuliskan doaku untuku,
Dan juga untukmu,
Masih ada waktu,
Untuk berbenah diri,
Untuk memperkuat iman dalam hati,
Untuk memperdalam akhlak islami,
Ikhtiarku…
Bismillah, tawakkaltu ‘alaAllah…
Kupasrahkan semua pada-Mu…”
Minggu, 27 Oktober 2019
Tulisan ke-16 ~ Menulis 91 tahun sumpah pemuda
Minggu, Oktober 27, 2019 Khabibul Umam
(sumber gambar: alihamdan.id)
#Bertanah air Indonesia,
berbangsa Indonesia, dan berbahasa Indonesia
Dari ketiga poin sumpah pemuda,
berbahasa Indonesia merupakan sumpah yang menurut saya unik. Kenapa bahasa Indonesia
bisa menjadi bahasa pemersatu bangsa Indonesia yang plural?. Bahasa merupakan
komunikasi sehari-hari yang kita gunakan untuk berinteraksi social, itu artinya
saat kita menggunakan bahasa Indonesia kita juga mendukung persatuan dan
kesatuan Negara Indonesia, saat kita menggunakan bahasa Indonesia kita juga
menerapkan sumpah pemuda yang digaungkan 91 tahun silam.
Pesatnya globalisasi seolah
menjadi sebuah pesaing dalam penerapan bahasa Indonesia. Adanya bahasa Inggris
sebagai bahasa internasional, ditambah dengan istilah-istilah gaul yang
berkembang di era digital menjadikan kebudayaan berbahasa Indonesia yang baik
dan benar kian jarang diperhatikan.
Bukan maksud saya untuk
mengatakan bahwa bahasa selain bahasa Indonesia adalah jelek, tapi saat kita
tidak bisa menghargai bahasa bangsa kita sendiri, bahasa pemersatu yang disumpahkan oleh senior kita dulu, lalu
siapa yang akan menghargainya?, mustahil juga bangsa lain akan menghargai bahasa
Indonesia jika kita tidak menghargai bahasa indonesia itu sendiri.
Tidak hanya dalam bentuk oral,
penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar dalam bentuk tulisan juga
perlu. Terlebih jika untuk penentingan resmi dan formal. Boleh sesekali kita
menggunakan bahasa Indonesia yang gaul dan kekinian dalam bentuk tulisan maupun
oral, tapi jangan lupa memperhatikan situasi dan kondisinya. Agar semangat
sumpah pemuda yang digaungkan oleh senior kita pada 27-28 oktober 1928 akan
tetap menggema di hati bangsa Indonesia di masa yang akan datang.
Tulisan ke-15 ~ Tentang orisinalitas sebuah karya
Minggu, Oktober 27, 2019 Khabibul Umam
(sumber gambar: kompasiana.com)
#Apakah tulisan yang sudah kita
buat benar-benar tulisan kita, atau hanya sekedar “copas”?
Menulis merupakan bagian dari
mencurahkan gagasan yang bersumber dari ide pemikiran. Beda orang beda kepala,
beda juga pemikiran. Oleh karenanya sangatlah lumrah jika setiap individu
memiliki sudut pandang yang berbeda dan melahirkan karya yang berbeda pula.
Namun, ada kalanya kita malas
untuk memikirkan keunikan diri kita, kekhasan diri kita, orisinalitas diri kita
sehingga dengan mudahnya copy sana copy sini, paste sana paste sini, dibumbui
sedikit paraphrase dan walaa, karya itu kita akui sebagai tulisan kita. Jika memang
ide atau tulisan orang lain yang kita jadikan sebagai referensi pendukung tidak
lebih dari 25% (atau bisa jadi tambah atau kurang tergantung kebijakan
masing-masing) karya kita maka sah-sah saja, dan tentunya menggunakan kaidah
pengutipan yang benar, maka boleh jika kita mengakui tulisan itu adalah tulisan
kita.
Lalu, apa sih pentingnya sebuah
orisinalitas karya tulis?. Seperti yang diawal saya asampaikan, orisinalitas
berasal dari keunikan atau kekhasan kita, itu artinya orisinalitas tulisan kita
merupakan cerminan diri kita, jati diri kita. Selain itu, pelanggaran terhadap keorisinalitas
karya tulis atau biasa kita kenal dengan istilah plagiasi merupakan bentuk
kriminalitas dalam bidang penulisa, apalagi pada bidang akademik, bisa-bisa
gelar sarjana yang telah kita dapat akan dicabut jika terbukti melakukan
plagiasi.
Oleh karena itu, biasakan diri
kita untuk menggunakan kaidah pengutipan yang baik dan benar, hindari kebiasaan
copas yang berlebihan, serta percaya dengan kemampuan kita sendiri. Karena sesimpel
apapun ide kita, itu adalah bagian dari kekayaan intelektual kita yang perlu
kita sumbangkan pada dunia melalui tulisan.
Sabtu, 26 Oktober 2019
Tulisan ke-14 ~ Tidak adanya ide adalah ide
Sabtu, Oktober 26, 2019 Khabibul Umam
(sumber gambar: kompasiana.com)
#Akan ada masanya saat kita
benar-benar kosong dan tidak ada ide lagi untuk menulis. Disaat seperti itu
benarkah kta sudah berakhir?
Dalam sebuah tulisan ide layaknya
ujung tombak. Yang akan menjadi garda terdepan dari tulisan kita, nyawa dari
tulisan kita, dan inti (core) dari tulisan itu sendiri. Mustahil sebuah tulisan
akan lahir tanpa adanya sebuah ide. Namun, akan tiba masanya saat kita
benar-benar merasa kosong dan tidak tau akan menulis apalagi. Jika sudah
demikian, akankah kita akan berhenti untuk menulis?
TIDAK
Beberapa waktu lalu, tepatnya
tanggal 5 oktober saya mengikuti sebuah seminar yang diisi oleh Pak Ismail
Fahmi. Dari penyampaian materi yang beliau sampaikan ada salah satu pernyataan
yang membekas dipikiran saya, bahkan yang menjadi inspirasi saya untuk membuat
tulisan ke-14 ini. Yakni “Tidak adanya data adalah data”. Awalnya saya bigung
dengan maksud pernyataan itu, namun, setelah saya menyimak lebih jauh lagi
barulah saya sadar. Ketidakadaan suatu data hakikatnya disitu masih ada data,
meskipun data yang dimaksud di sini adalah “tidak ada data”. Itu artinya saat
kita berpikir tidak ada sesuatu, ketidakadaan sesuatu itulah data.
Kemudian saya berpikir, saya
tidak ada ide untuk menulis pada hari ini, jika saya masukkan permasalahan saya
ini dalam pernyataan pak Fahmi tadi maka yang muncul adalah “Tidak adanya ide
adalah ide”. Dari situlah kemudian saya berniat untuk menulis tulisan ini.
Inti dari apa yang ingin saya
sampaikan adalah, saat kita berpikir bahwa tidak ada ide lagi bagi kita untuk
menuis, hakikatnya ketidakadaan ide itu tetap bisa menjadi ide bagi kita untuk
menulis. Sebab saat kita sudah bertekad untuk menulis seperti tulisan saya pada Tulisan ke-1 ~ Innamal A’malu Binniyah,
jangan berpikir untuk berhenti ditengah jalan. Semua pasti ada jalannya saat
kita mau mengusahakannya.
Kamis, 24 Oktober 2019
Tulisan ke-13 ~ Write to share
Kamis, Oktober 24, 2019 Khabibul Umam
(sumber gambar: godtv.com)
#Pentingkah sebuah tulisan untuk
di share?
Seberapa pentingkah sebuah
tulisan untuk di share?, hmmm, kemudahan yang diberikan oleh teknologi
informasi menjadikan kita sangat mudah untuk melakukan “kopas” atau “forward”. Tak
perlu mengetikkan tulisan yang sudah kita baca dari awal hanya tinggal klik,
klik, dan klik, jadi, tulisan yang kita dapat bisa dengan mudah kita share. Terlebih
saat kita menerima sebuah berita atau informasi yang menurut kita menarik.
Tapi, tunggu dulu. Seberapa pentingkah
sebuah tulisan untuk di share?. Sebelum menjawab pertanyaan ini perlu kita ketahui bersama bahwa tulisan merupakan
salah satu media untuk menyampaikan
suatu informasi kepada pihak lain. Bahkan kegiatan menulis ini sudah ada sejak
zaman prasejarah. Tentunya dengan font dan abjad yang berbeda manusia purba
menorehkan lukisan dan tulisannya pada dinding-dinding gua, kemudian berkembang
menjadi menulis di atas batu, tulang atau daun, hingga menulis di atas kertas. Semua
pengetahuan yang kita ketahui di masa kini juga bisa kita pelajari berkat adanya
tulisan.
Jadi, bisa dikatakan bahwa pentingkah
sebuah tulisan untuk di share? Jawabannya adalah IYA. Lalu, tulisan apa saja
yang penting untuk dishare?, apakah tulisan bebas seperti ini juga penting
untuk dishare?. Apapun tulisan itu, pastinya setiap tulisan layak untuk
dishare, entah itu tulisan ilmiah, esai, opini, atau bahkan fiksi. Sebab setiap
tulisan punya perannya masing-masing. Dan bisa jadi, tulisan kita yang mungkin
kita anggap sepele bagi orang lain bisa menjadi sebuah pemacu motivasi. Sebut saja
kita buat story motivasi lalu teman kita menjadi termotivasi setelah
membacanya.
Pastinya sebelum menyebarluaskan
informasi yang kita dapat atau kita punya perhatikan dulu tulisan itu mau kita
bagikan kesiapa, waktunya kapan, tujuannya apa, agar tidak terjadi kesalah
pahaman. Pastikan pula sebelum kita menyebarluaskan informasi yang kita dapat
baik dari internet maupun social media, pastikan dulu dari mana sumbernya, apakah
yang bersangkutan kompeten dibidangnya atau tidak, cek tanggalnya, selalu cek
dan ricek agar tulisan yang kita sebarkan bermanfaat bagi orang lain.
Selasa, 22 Oktober 2019
Tulisan ke-12 ~ When will we start writing?
Selasa, Oktober 22, 2019 Khabibul Umam
(sumber gambar: beritagar.id)
#Menjawab 5W1H dalam menulis (Part
3)
Bicara soal kapan maka tidak akan
lepas dari bicara soal waktu. Sebagaimana yang kita tahu dalam sehari kita
mempunyai waktu 24 jam. Atau saat kita bicara soal minggu, dalam seminggu kita
punya waktu 7 hari. Dan bicara soal tahun, dalam setahun kita punya waktu 12
bulan. Dan pada lingkup yang lebih luas lagi. Yakni soal usia. Usia kita sudah
berapa tahun, dan kira-kira akan sampai kapan?, tak ada yang tahu.
Pertanyaannya adalah selama waktu
yang kita miliki tersebut, baik dalam satuan tahun, bulan, minggu, hari, jam,
menit, atau bahkan detik, what will we do?, apakah kesempatan waktu yang Tuhan
berikan pada kita sudah kita maksimalkan dengan baik?.
Oke, kita pasti akan berpikir
bahwa kesempatan waktu yang kita miliki itu harus kita maksimalkan semaksimal
mungkin, bahkan jangan sampai ada celah bagi aktivitas yang kurang bermanfaat. Tapi
tunggu dulu, bukan kah jika kita terlalu ketat seperti itu, ujung-ujungnya
adalah kita mendholimi diri kita sendiri?, pikiran kita terlalu fokus memikirkan
target yang harus kita penuhi tanpa ada akhirnya, sedangkan pikiran kita juga
butuh refreshing dan tubuh kita butuh istrahat. Lantas bagaimana?
Bak judul lagu “indah pada
waktunya”. Kalimat "indah pada waktunya" memberikan kesan pada kita bahwa semua
ada porsi waktunya masing-masing. Saat kita sedang bekerja, maka fokuslah untuk
bekerja, saat kita sedang sekolah, fokuslah untuk menerima pelajaran, saat kita
refreshing, fokuslah untuk bersenang-senang.
Begitu juga dengan menulis. Apakah
menulis itu harus dilakukan pada waktu pagi, siang, atau bahkan malam?. Bukankah
tidak ada standar baku yang berlaku untuk waktu menulis kan?. Maka kapan pun
selama kita niat untuk menulis ya menulislah. Cari waktu yang bisa kita
manfaatkan untuk menulis. Sesibuk apapun kita, mustahil kita tidak memiliki
waktu senggang dalam kurun waktu 24 jam atau 7 hari. Pasti aka nada waktu selo.
Diwaktu selo itulah, manfaatkan untuk hal yang positif seperti menulis karangan
atau esai atau bahkan memo.
Lantas, tepatnya kapan kita harus
memulai untuk menulis?. Soon, segera, bergegaslah. Semakin dini kita memulai
menulis, semakin banyak karya yang akan kita hasilkan, semakin banyak waktu
kita yang termanfaatkan, dan semakin banyak pula kita berbagi dengan menulis.
Senin, 21 Oktober 2019
Tulisan ke-11 ~ Ojo Rumongso Biso, Nanging Bisoho Rumongso
Senin, Oktober 21, 2019 Khabibul Umam
(sumber gambar: photos.edu.pl)
#saat kita berhasil lelalui tahap
demi tahap dalam membuat tulisan dan pada akhirnya tulisan kita dilirik dan
bahkan dipertimbangkan khalayak umum, jangan lupa bahwa kaki kita masih
berpijak di bumi yang sama.
Tentunya menjadi sebuah
kebanggaan tersendiri manakala kita berhasil membuat tulisan yang sesuai
ekspektasi kita, lain daripada yang lain (sebut saja unik), mengandung
pembahasan yang mendalam, mampu menarik perhatian publik, atau bahkan mampu
menyabet gelar juara atau bisa juga diterbitkan di media massa. Ya jelas bangga
dong!. Tulisan kita sesuai harapan kita, keluarga kita menyanjung kita, guru
atau dosen kita memuji kita, atau bahkan ayang beb makin zeyeng dengan kita. Haha
bucin :D
Tapi, tunggu dulu. Merasa bangga
dengan hasil tulisan kita merupakan bentuk apresiasi terhadap tulisan kita
sendiri. Dan seperti pembahasan saya pada Tulisan ke-10 ~ Menulis untuk Peduli , hal itu memang penting. Namun,
jangan lupa untuk bersyukur atas apa yang telah kita dapat agar hasil itu bisa
semakin berkembang (ingat, lain syakartum laaziidannakum).
Selain sebagai bentuk apresiasi
terhadap karya kita, bersyukur atas tulisan yang telah kita tulis juga
bertujuan untuk membumikan diri kita. Dengan kita merasa bersyukur itu artinya
masih ada tulisan yang lebih hebat dari tulisan kita. Tulisan yang lebih unggul
dari tulisan kita. Tulisan yang lebih menarik dari tulisan kita. Di atas langit
masih ada langit. Perumpamaan tanaman padi, semakin berisi semakin menunduk. Untuk
itulah kita harus bersyukur.
Sebab di atas langit masih ada
langit, namun bumi yang kita pijak tetap sama. Mengakui keunggulan tulisan
orang lain bukanlah merendahkan tulisan kita sendiri, justru sebaliknya. Saat kita
tahu kelebihan tulisan orang lain bila dibandingkan dengan tulisan kita, maka
suatu keniscayaan bila suatu saat tulisan kita akan mendekati atau bahkan
selevel dengan tulisan orang lain yang kita akui keunggulannya.
Sebagaimana pepatah jawa
mengatakan “Ojo Rumongso Biso, Nanging Bisoho Rumongso”, yang maksudnya kurang
lebih, jangan merasa/mengaku sok bisa, tapi bisalah untuk merasa /mengaku. Di atas
langit masih ada langit, namun, bumi tempat kita berpijak masih sama.
Minggu, 20 Oktober 2019
Tulisan ke-10 ~ Menulis untuk Peduli
Minggu, Oktober 20, 2019 Khabibul Umam
(sumber gambar: quotesss.com)
#ada yang menulis untuk
penelitian, ada yang menulis untuk pelampiasan, ada yang menulis untuk
keuntungan, kita, mau menulis untuk apa?
Sering kali yang membuat kita
merasa terbebani untuk menulis adalah kita menuntut tulisan itu untuk sesuai
apa yang kita angankan. Semisal kita membayangkan tulisan kita akan digunakan
untuk penelitian ilmiah, maka kita berangan-angan bahwa tulisan kita harus
menjadi tulisan ilmiah yang membuat pembacanya takjub dan tercengang dengan
inovasi yang kita munculkan di dalamnya.
Atau jika kita akan menulis puisi ataupun syair, kita berangan-angan bahwa
pembaca yang membaca tulisan kita akan terombang-ambing dalam buaian syair yang
kita tulis. Atau bahkan, saat kita akan menulis tulisan untuk tujuan komersial
kita berangan-angan bahwa tulisan kita harus menghasilkan profit sesuai yang
kita harapkan.
Lantas, bagaimana jika ternyata
tulisan yang kita hasilkan tidak sesuai “ekspektasi” kita?
Berekspektasi itu boleh, bahkan
perlu agar kita memiliki wawasan yang luas saat kita akan menulis. Tapi jangan lupa untuk tetap membumi. Dalam artian,
apapun yang ingin kita targetkan dari tulisan itu tidak melebihi kemampuan kita
dan tidak berandai-andai yang tidak masuk akal.
Jika pada akhirnya tulisan yang
kita hasilkan belum sesuai ekspektasi kita, ya tidak megapa. Ini masih bagian
dari proses kita untuk berkembang dalam bidang kepenulisan. Toh apapun yang
kita hasilkan tidak akan sia-sia. Saat kita berani berekspektasi tinggi namun
hasilnya belum sesuai bayangan kita, setidaknya kita tau dimana letak
kekurangan tulisan kita. Dan dari kekurangan pada tulisan kita yang sebelumnya
bisa kita jadikan sebagai acuan untuk memperbaiki tulisan yang akan dibuat
selanjutnya. Tidak hanya sekali-dua kali, bisa jadi bahkan sampai berulang kali
hingga tulisan itu sesuai yang kita harapkan. Yah itulah proses.
Saat kita bisa mensyukuri tulisan
yang kita tulis, maka pada saat itulah kita akan bisa membuat lebih banyak
tulisan dengan kualitas yang lebih baik. Sebab “Lain syakartum laaziidannakum”,
saat kita bersyukur atas apa yang kita punya maka Tuhan Allah akan menambah
kenikmatan itu.
Maka dari itu, hargailah setiap
tulisan yang telah kita tuliskan. Sebab dengan kita peduli pada tulisan kita,
suatu saat keluarga, teman, atau bahkan dunia akan peduli pada tulisan kita.
Jumat, 18 Oktober 2019
Tulisan ke-9 ~ Amal Jariyah atau Dosa Jariyah Sepanjang Dunia Maya?, Pilih Mana?
Jumat, Oktober 18, 2019 Khabibul Umam
(sumber gambar: news.berdakwah.net)
#Menulis di dunia maya terutama
di sosial media sudah menjadi bagian dari keseharian kita. Sadarkah kita bahwa
tulisan yang kita post di media social bisa mendatangkan keberuntungan, juga
bisa mendatangkan petaka?
Salah satu hadits Nabi kita
menyatakan “salamatul insan fi hifdzillisan” yang artinya kurang lebih
keselamatan seorang insan terletak dari bagaiman dia menjaga lisannya. Berdasarkan
hadits tersebut kita diajak untuk amar makruf nahi munkar dengan lisan kita. Menghindari
ucapan-ucapan yang tidak berguna dan negatif, serta memperbanyak mengucapkan
kalimat-kalimat yang positif dan bermanfaat.
Pada konteks dunia maya, tulisan
kita lah yang pada umumnya menjadi perantara lisan kita. Sebut saja story WA ataupun IG, FB, twitter dan lain sebagainya.
Bedanya adalah saat kita
mengucapkan secara langsung pernyataan yang kita ungkapkan paling-paling hanya
bertahan beberapa hari atau beberapa minggu. Tapi saat kita menuliskannya di
media social, ataupun bentuk tulisan digital yang terpost di tempat publik, maka
tulisan itu akan terus ada selama kita tidak menghapusnya.
Masalahnya adalah, apakah tulisan
yang kita post itu sebuah tulisan yang mengajak pada kebaikan, atau
sebaliknya?. Jika tulisan itu berisi kebaikan dan mampu menginspirasi orang
lain untuk berbuat baik juga maka bersyukurlah. Sebab wata’awanu alal birri wa
taqwa, fastabiqulkhoirot, dalil-dalil itu mengajak kita pada kebaikan, bisa
jadi kita mengajak kebaikan melalui tulisan yang kita post. Namun, jika tulisan
itu berisi ungkapan negatif yang mengajak pada keburukan, apakah kita akan
siap menanggung jika ada orang lain yang berbuat buruk akibat membaca tulisan
kita?
Oleh karena itulah, tulislah
apapun itu yang mengajak pada kebaikan, agar orang lain mengikuti jejak
kebaikan dari tulisan yang kita post. Jika ada amal jariyah melalui tulisan di sosial media, mengapa memilih dosa jariyah di sosial media?
Rabu, 16 Oktober 2019
Tulisan ke-8 ~ Berjuang untuk menulis
Rabu, Oktober 16, 2019 Khabibul Umam
(sumber gambar: Bayu Skak Daily Life-Thumbnail Youtube)
#Nggak sempet nulis karena
sibuk?, benarkah?!!!
Sejak masih mengenakan seragam
merah putih kita sudah dikenalkan dengan aktivitas catat mencatat. Bahkan kegiatan
menulis menjadi salah satu tugas wajib dalam setiap jenjang pendidkan kita.
Anehnya adalah, saat menulis untuk sekedar memenuhi permintaan guru untuk
mencatat kita bisa melakukannya. Tapi saat kegiatan menulis itu diarahkan pada
hal-hal diluar pembelajaran atau bahkan perkuliahan mendakak kita seolah
menjadi orang paling sibuk di dunia?, kog bisa ya?!.
Seringkali alasan sibuk mejadi
garda terdepan bagi seseorang yang punya keniatan untuk menulis tapi tulisannya
tidak kunjung tertulis. Sesibuk itukah?, bukankah jika karena “sibuk” kita
tidak bisa menyelesaikan tulisan kita itu artinya tidak akan pernah ada
tulisan di dunia. Lah iya, karena semua orang punya kesibukan masing-masing.
Haha. Lalu bagaimana solusinnya?
Pertama tanamkanlah mindset bahwa
tulisan kita akan selesai, jika kita tidak punya motivasi untuk menulis lalu siapa
yang akan menyelesaikan tulisan kita kalau bukan diri kita sendiri?. Kedua, manajemen waktu. Saya
tidak akan mneyarankan anda untuk membuat jadwal sehari harus sekian jam untuk
menulis, dari jam sekian sampai jam sekian harus menulis, tidak!!, karena saya
sendiri juga tidak bisa melakukan hal seribet dan sekaku itu. Manajemen waktu
yang saya maksudkan di sini adalah luangkanlah waktu berapa menitpun yang kita
punya untuk mencurahkan gagasan kita dalam tulisan. Kesibukan kita tak sama,
jelaslah tidak bisa disamaratakan pada jam sekian kita akan bisa membuat
tulisan. Dan bisa jadi jadwal aktivitas kita seharian full sudah penuh. Itulah
mengapa saya mengajak anda semua untuk meluangkan waktu. Jika tidak meluangkan
waktu jelas tidak akan ada waktu untuk menulis. Ya kan?!!
Aduh!, capek!, ngantuk!. Maklum
jika kita mengeluh karena tenaga selama seharian penuh sudah dikuras. Namun
saat kita harus tetap menyisakan sedikit waktu, pikiran, dan tenaga untuk menulis
Justru di situlah letak perjuangannya. Berjuanglah untuk menulis, karena
menulis juga butuh perjuangan.
Selasa, 15 Oktober 2019
Tulisan ke-7 ~ Menjawab 5W1H dalam menulis (Part 2)
Selasa, Oktober 15, 2019 Khabibul Umam
#Dimana (where) kita akan
menulis?.
Menjawab pertanyaan “Dimana kita
akan menulis?” bukan soal tulisan kita akan diletakkan dimana. Lebih dari itu,
“dimana kita akan menulis” merupakan jawaban dari salah satu alasan mengapa
kita perlu menulis. Tujuan. Benar, tujuan. Tulisan kita akan kita tujukan
kemana maka disitulah tempat bagi tulisan kita. Pandangan ini merupakan
pandangan filosofis (menurut saya) mengenai unsur “where”.
Tidak hanya itu, realitanya kita
juga perlu memikirkan, media apa yang akan menjadi perantara antara gagasan
kita dengan karya tulisan kita. Jika pada jaman purba manusia menuangkan
ekspresi gagasannya pada sebuah lukisan di dinding gua, lalu pada jaman nabi wahyu-wahyu yang diterima
dituliskan pada batu, daun, atau bahkan pada tulang, selanjutnya pada awal
peradaban digunakanlah daun papyrus sebagai media menulis, lalu berkembang
menjadi kertas, dan sekarang, yang selalu tidak bisa lepas dari kehidupan kita
yaitu teknologi.
Teknologi tidak hanya sekedar
mempermudah aktivitas manusia (dalam hal ini adalah menulis), namun teknologi
telah merubah pola pikir, sudut pandang, dan budaya kepenulisan. Tidak perlu
menorehkan tinta pada kertas cukup dengan menekan tombol ataupun touchsreecn
maka akan muncul tulisan yang kita inginkan. Tidak cukup sampai disitu, bahkan
dengan suara pun bisa dikonversikan menjadi teks. Di era serba modern ini
menulis bukanlah lagi aktivitas yang berat. Kapanpun dimanapun kita bisa
membuat tulisan.
Didukung dengan perkembangan
teknologi jaringan, tulisan apapun dengan mudahnya akan tersebar pada khalayak
umum. Melalui soial media pun kita bisa membuat tulisan. Entah dalam bentuk
caption, story, tagar, dan lain sebagainya. Tunggu-tunggu, bukankah sosial
media adalah tempat untuk curhat, untuk berbagi cerita aktivitas sehari-hari,
atau bahkan media promosi?, lalu mengapa kita menuliskan tulisan kita di sosial media?!.
Seperti apa yang pernah saya
sampaikan pada Bagian ke-2 ~ Semua Bisa Ditulis, apapun itu Tulislah!, pengalaman, cerita, gagasan, tulislah!!!.
Jika dengan menuliskan story atau caption pada sosial media bisa berarti lebih
dari sekedar “tempat bucin” mengapa tidak kita maksimalkan?. Dimanapun itu,
jadikan tulisan kita sebagai tulisan yang berarti dan bermanfaat.
Senin, 14 Oktober 2019
Tulisan ke-6 ~ Menjawab 5W1H dalam menulis (Part 1)
Senin, Oktober 14, 2019 Khabibul Umam
#What (apa)?, where (dimana)?, when
(kapan)?, who (siapa)?, why (mengapa)?, dan how (bagaimana)? dalam menulis?
Menjawab pertanyaan “apa”. “apa
yang ingin kita tulis?”. Ibarat seorang anak remaja yang mulai tumbuh dewasa,
dimana dia akan mengalami masa pencarian jati diri. Demikian juga dalam dunia
penulisan. Jika dalam sudut pandang sosial kita mencari jati diri untuk
mengetahui dimana diri kita, berperan sebagai apa, posisi kita sebagai apa
untuk kelangsungan hidup kita. Maka dalam sudut pandang penulisan kita juga
harus mencari jati diri kita, untuk mencari identitas penulis dalam diri kita. Apakah
kita penulis ilmiah, apakah kita penulis fiksi, apakah kita penulis esai, dan
lain sebagainya.
Mengapa pencarian jati diri
penulis dalam diri kita perlu kita anggap “penting”?. Kembali pada pertanyaan
awal pada paragraf sebelumnya. “apa yang ingin kita tulis?”. Jika kita ingin
melakukan sesuatu akan lebih baik jika kita tau diri kita terlebih dahulu. Seberapa
kemampuan kita, apa passion kita, apa kelebihan kita, dan lain sebagainya. Jika
sudah demikian, maka kita tidak akan salah jalan.
Apa yang akan kita tulis
merupakan cerminan dari diri kita. Seorang pemikir, seorang pengamat, seorang
pembicara dapat kita lihat dari gaya dan pola penulisannya. Untuk itulah menulis
tidak hanya sekedar menorehkan tinta di atas kertas atau mengetikkan huruf pada
layar monitor. Melainkan menulis adalah proses pengekspresian jati diri kita.
Kembali pada pertanyaan “apa yang
ingin kita tulis?”. Tulislah apapun itu yang kita kuasai, yang kita nyaman
disitu, dan tulisan yang mencerminkan diri kita dimata dunia.
Minggu, 13 Oktober 2019
Tulisan ke-5 ~ Menulis diatas batu karang
Minggu, Oktober 13, 2019 Khabibul Umam
Note: Edisi tulisan saya kali ini akan
sedikit berbeda dengan tulisan saya sebelumnya. Jika pada bagian sebelumnya hal
yang saya tulis adalah mengenai persepsi saya soal kiat-kiat membuat tulisan. Maka
pada edisi tulisan ini, dalam rangka memperingati Hari Museum sekaligus dalam
ragka mengikuti lomba menulis artikel yang diadakan oleh Museum Bahari
Indonesia, saya akan membuat tulisan berbetuk artikel bebas dengan tema
kepenulisan dan kemaritiman.
Pepetah mengatakan “jika menulis
di atas air maka tulisan itu akan hilang. Namun, jika menulis di atas batu maka
tulisan itu akan abadi”. Menulis hakikatnya bukanlah aktivitas biasa, aktivitas
administratif, atau bahkan aktivitas mengarang. Lebih dari itu, menulis adalah
proses menuangkan sebuah gagasan dalam bentuk tulisan agar tulisan itu bisa
abadi dan kita wariskan pada anak cucu kita. Lalu hal apa saja yang akan kita
tulis?. Apapun. Semua hal pun bisa kita tulis. Termasuk juga tentang
kemaritiman.
Pertanyaannya adalah “apa yang
menarik dari kemaritiman sehingga kita harus menuliskannya?”. Coba kita ingat
kembali pelajaran sejarah yang pernah diajarkan guru kita saat masih di
sekolah. Sejarah bangsa Indonesia pun tidak bisa lepas dari kemaritiman. Apa sajakah
sektor-sektor di Indonesia yang berhubungan dengan kemaritiman?. Pertama, Perantara
penyebaran agama. Kerajaan-kerajaan yang ada di Indonesia pada masa lalu bisa
menyebarluaskan agama yang dianutnya melalui jalur maritim. Bahkan kerajaan-kerajaan
seperti Majapahit, Sriwijaya, dan Kerajaan Demak dikenal memilki pasukan
angkatan laut yang tangguh. Kedua, jalur perdangan. Bangsa china dan india
bahkan belanda sejak masa kerajaan di Indonesia masih berdiri sudah dikenal
gemar melakukan perdangan di Indonesia melalui jalur laut. Karena ramainya
jalur perdagangan ini lah yang menyebabkan perekonomian di bumi nusantara pada
masa itu mengalami masa keemasannya. Bahkan
bangsa Indonesia dikenal sebagai poros maritim dunia pada masa itu.
Sayangnya, rendahnya minat
masyarakat umum untuk menjaga warisan yang luhur itu memunculkan pandangan yang
memandang sebelah mata dari sektor kemaritiman. Baik dari segi sejarahnya,
potensinya, atau bahkan bisnisnya. Tragisnya laut bahkan dijadikan sebagai
penampungan sampah limbah rumah tangga dan industri. Lantas bagaimana solusi
atas permasalahan tersebut?.
Perseroan Terbatas Pendidikan
Maritim dan Logistik Indonesia (PT PMLI) melalui IPC Corporate University
merupakan salah satu alternatif solusi yang patut dipertimbangkan. Di tengah minimnya
kepedulian masyarakat terhadap kemaritiman, IPC Corporate University yang
merupakan anak perusahaan dari IPC mempunyai visi untuk mencetak SDM yang
literate dalam bidang kemaritiman. Selain sebagai bekal bagi pegawai pelabuhan
agar memiliki kompetensi kerja berstandar internasional, berdirinya IPC
Corporate University juga berpotensi untuk diarahkan sebagai wadah untuk
mencetak insan Indonesia yang cinta dengan kemaritiman. Hal ini sebagai salah
satu upaya untuk melestarikan warisan luhur dari nenek moyang kita sebagai
seorang pelaut.
Selain IPC Corporate University,
Museum Maritim Indonesia yang masih dibawah manajemen IPC Group juga merupakan
media yang tepat untuk senantiasa menyimpan, mengelola, dan menyebarluaskan wawasan,
sejarah, serta pengetahuan tentang kemaritiman di Indonesia kepada khalayak
umum. Melalui koleksi-koleksi yang tersedia di Museum Maritim Indonesia kelestarian
nilai luhur bangsa indoesia sebagai bangsa maritim akan terus jaga dan bisa
diturunkan pada generasi Indonesia yang akan datang.
Kita sebagai masyarakat umum
tentunya juga harus mendukung upaya pelestarian, pengelolaan, dan
penyebarluasan wawasan kemaritiman kepada publik. Menulis di blog bisa menjadi
salah satu alternatif bentuk dukungan kita terhadap upaya pelestarian nilai
kemaritiman di indonesia. Betapa berharganya nilai kemaritiman tersebut agar
selalu kita jaga, jita rawat, dan kita wariskan pada generasi yang akan datang.
Melalui sebuah tulisan sederhana pada blog pribadi kita masing-masing, niat
mulia itu akan terwujud. Sebab menulis merupakan sebuah proses menorehkan sejarah.
Ibarat menulis di atas batu karang.
Tulisan ke-4 ~ Menulis ada seninya
Minggu, Oktober 13, 2019 Khabibul Umam
#Poin keempat. Saat kita telah
memulai mengerjakan tulisan. Maka yang selanjutnya membayangi pikiran kita
adalah “kapan tulisan itu akan selesai?”. Menulis adalah proses menuangkan
gagasan. Di dalamnya ada seni yang berperan. Maka “kapan tulisan itu akan
selesai?” jawabannya adalah relatif.
Layaknya seorang pelukis yang
menggoreskan kuasnya di atas kanvas. Layaknya seorang pemain drama yang bahkan
sampai menangis tersedu-sedu saat memainkan perannya. Atau bahkan layaknya
seorang pematung yang mengikis sedikit demi sedikit batu keras agar menampakkan
karyanya. Menulis juga bagian dari proses berseni. Di dalamnya ada jiwa seni
yang bermain. Terlebih jika tulisan itu adalah tulisan sastra atau fiksi. Tulisan
ilmiah pun jika tidak dibumbui dengan seni maka tulisannya akan terasa kaku dan
memeras otak. Jika dalam tulisan ilmiah dibumbui dengan seni untuk memilih
diksi yang tepat, dibumbui seni untuk menyusun kalimat yang efektif, dibumbui
seni untuk membentuk paragraf yang padu dan berhubungan satu sama lain. Di situlah
peran seni dalam menyajikan tulisan kita.
Kembali ke pertanyaan awal “kapan
tulisan itu akan selesai?”. Jika menulis ada seninya, maka lihatlah dengan
sudut pandang seni. Apakah sebuah karya yang elok bahkan karya agung dari
sebuah seni bisa dipastikan kapan waktu pengerjaannya?. Jawabannya adalah relatif.
Tergantung bagaimana jiwa seni dari masing-masing seniman. Bukankah akan sangat
memberatkan jika saat kita tengah mengerjakan tulisan kita sendiri kita dikejar
oleh waktu yang terus bergulir. Bisa jadi tulisan itu belum bisa kita jiwai karena
mengerjakannya yang penting jadi. Nikmatilah proses saat kita menulis. Jangan membebani
diri kita sendiri sehingga kita tidak bisa menghadirkan jiwa seni kita saat
membuat tulisan.
Namun, adakalanya tulisan yang
kita kerjakan harus selesai dengan rentang waktu sekian hari. Bukannkah ini akan
memberatkan kita???. Tidak juga, bahkan bisa jadi sama sekali tidak memberatkan.
Mengapa demikian?!. Memberatkan atau tidaknya tergantung dari bagaimana kita
menyikapinya. Saat kita menganggap bahwa deadline waktu itu adalah sebuah
tantangan yang harus ditaklukkan bisa jadi semangat kita akan menggebu-gebu
untuk menyesaikan tulisan kita. Bahkan seringkali jiwa seni kita yang
sebenarnya muncul disaat kita dikejar deadline.
Akan lebih baik jika kita tau
bahwa kita membutuhkan waktu yang lama untuk menuangkan gagasan kita dalam bentuk
tulisan, maka persiapkanlah tulisan kita sejak jauh-jauh hari. Namun, jika kita
bisa tetap menyenikan gagasan kita dalam bentuk tulisan di bawah tekanan waktu,
tak mengapa. Setiap orang punya jiwa seninya masing-masing. Temukan jiwa seni
anda dalam menulis, karena menulis ada seninya.
Rabu, 09 Oktober 2019
Tulisan ke-3 ~ Mau jadi penulis, editor, atau bahkan komentator?
Rabu, Oktober 09, 2019 Khabibul Umam
#Poin ketiga. Disaat anda sedang
mengerjakan tulisan anda, tiba-tiba di tengah jalan anda mandeg karena merasa
tulisannya tidak bagus, ada banyak kesalahan ini itu. Coba renungkan, “kita mau
jadi penulis, editor, atau bahkan komentator?”
Seringkali di tengah proses
penulisan tiba-tiba kita merasa minder dan merasa tulisan kita tidak layak
untuk kita tulis, apalagi kita publish. "Teramat amat sangat disayangkan" jika
kita sudah berani untuk memulai menulis tiba-tiba di tengah proses kita
berhenti dan tidak menyelesaikan tulisan kita.
Coba kita pikirkan kembali,
anggaplah bahwa dunia adalah subjektif. Kalau sudah demikian, maka pikiran kita
tidak akan tersekat oleh pemikiran dan pandangan kita sendiri. Dalam sudut
pandang subjektif, semua hal itu benar menurut masing-masing pengamat. Itu artinya,
jika menurut kita tulisan yang kita tulis adalah jelek, bisa jadi menurut
orang lain justru bagus, atau jika kita menganggap tulisan kita tidak menarik,
bisa jadi menurut orang lain akan
menarik, atau bahakan menurut kita tulisan kita tidak bernilai, tapi bisa jadi
menurut orang lain tulisan kita bernilai. Itulah yang saya maksud dalam sudut
pandang subjektif semua hal bisa berarti benar.
Pun semisal dari 10 orang pembaca
9 orang mengatakan tulisan kita jelek dan hanya satu orang yang mengatakan
tulisan kita bagus, it’s ok. Syukurilah, masih ada orang yang mengapresiasi tulisan kita. Atau bahkan
dari 10 orang pembaca semua mengatakan tulisan kita jelek, syukurilah, masih
ada orang yang peduli dengan tulisan kita dan mau membacanya.
Coba renungkan kembali, bukankah
tujuan kita adalah untuk membuat tulisan?!, untuk menjadi penulis?!. Jika kita
memang ingin menjadi penulis maka pekerjaan kita adalah menulis, menulis apapun
itu ya kita tulis. Jika di tengah jalan kita melihat tulisan kita lalu
mengomentari tulisan kita, memang kita mau jadi komentator?!. Atau ditengah
jalan kita mengubah-ubah tulisan yang kita buat tanpa dasar yang kuat sehingga
tulisan kita tak kunjung selesai, memangnya kita mau jadi editor?!. Pekerjaan seorang
penulis ya menulis. Urusan penilain, koreksian, kritik saran, akan ada pihak
lain yang akan melakukannya. Jadi, jangan takut untuk salah, jangan takut untuk
menulis, karena niat kita ingin menjadi penulis.
Tulisan ke-2 ~ Semua Bisa Ditulis
Rabu, Oktober 09, 2019 Khabibul Umam
#Poin kedua. Jenis-jenis tulisan
ada banyak. Ada ilmiah, nonilmiah, dari karya ilmiah sampai prosa, hingga
pantun, atau bahkan syair. Masihkah lingkup yang seluas dan selebar itu terasa sempit bagi kita?
Kebingungan karena menentukan
tema atau bentuk tulisan?, bisa jadi anda setengah terbangun. Biasanya, orang yang punya tekat bulat untuk menulis
maka dia akan melangkah pada tahap
selanjutnya, yakni menentukan tema dan bentuk tulisan. Mengapa tema itu
penting?, karena tema itulah yang akan menjadi outline tulisan kita. Arah dari
tulisan kita akan kita ketahui dan kita terapkan saat kita punya tema tulisan. Dan
mengapa bentuk tulisan itu penting?, karena bentuk tulisan yang akan menentukan
tujuan dari tulisan kita untuk siapa, tujuannya apa, dan bisa jadi tujuannya
adalah untuk mengapa. Bentuk tulisan kita juga yang akan menentukan posisi
tulisan kita nantinya di mana.
Sekarang coba imajinasikan. Saat kita
mengerjakan makalah tugas sekolah atau tugas kuliah tapi makalah itu kita
narasikan dengan bahasa syair. Ataupun sebaliknya. Saat kita diminta untuk
pentas pada ajang sastra yang kita bacakan adalah laporan penelitian. Pastilah orang
lain akan mengatakan “salah alamat” pada kita.
Pertanyaannya adalah, “Tema dan
bentuk tulisan apa yang akan kita tulis?”
Saat kita naik tangga dari bawah
ke atas pastilah kita akan menaikinya dari anak tangga terbawah naik satu anak
tangga lagi di atasnya, naik satu tangga lagi di atasnya, naik satu tangga lagi
di atasnya, hingga pada akhirnya kita sampai di atas tangga. Akan sangat aneh
jika kita naik tangga tapi tiba-tiba kita sudah di tengah atau bahkan di atas.
Begitu juga menulis. Menulis adalah
proses, maka dalam sebuah proses ada langkah-langkah atau tahap-tahap yang
harus dilalui. Jika anda adalah penulis pemula jangan berharap tulisan anda
akan setenar tulisan Habiburrahman el-Syarazy, atau senyentrik Cak Nun, atau
sedalam Pramoedya Anantatoer.
Seperti pembahasan saya
sebelumnya. Tulislah. Apapun itu, bagaimanapun bentuknya, pokoknya tulis. Semua
hal bisa anda tulis. Pengalaman, gagasan, bahkan candaan, semua bisa anda
tulis. Pokoknya tulis aja. Sebab dengan
anda menulis, maka gagasan, inovasi, bahkan kenangan anda tidak akan hilang. Dan
suatu saat anda akan tersadar dan mengetahui passion anda dalam bidang menulis.
Selasa, 08 Oktober 2019
Tulisan ke-1 ~ Innamal A’malu Binniyah
Selasa, Oktober 08, 2019 Khabibul Umam
#Poin pertama jika anda ingin menulis adalah dengan
membulatkan tekad dan niat. Sebab jika anda masih setenga-setengah maka tulisan
anda hanya akan setengah (jadi).
Sering kali calon penulis awam
bertanya-tanya kepada penulis aktif, “bagaimana memulai menulis?” “apakah tips
dan trik memulai menulis?” sampai “apakah motivasi terbesar untuk menulis?”.
Dan pasti saat anda bertanya pada penulis yang berbeda bisa jadi jawabannya
adalah beda. Mengapa demikian?, karena tulisan adalah cerminan diri kita,
cerminan karakter kita. Apa yang kita tulis itulah apa yang kita pikirkan. Apa
yang kita pikirkan itulah yang kita lakukan. Apa yang kita lakukan itulah
kepribadian kita. Apa kepribadian kita itulah diri kita “apa adanya”.
Jika sudah demikian, apakah anda
akan mendapatkan jawaban atas pertanyaan terbesar anda “bagaimana cara saya
memulai menulis?”?. Syukurlah jika anda mendapatkan jawaban pertanyaan anda.
Tapi, bagaimana jika anda belum mendapat jawaban?. Jawaban untuk pertanyaan
“bagaimana saya akan memulai menulis?” adalah “lihat diri anda”. Tak perlu
memikirkan apakah tulisan anda akan bagus, apakah tulisan anda akan dibaca
orang, apakah tulisan anda akan bermanfaat. Tidak. Tidak perlu memikirkan
perkara yang belum saatnya anda cemaskan. Jika anda betul-betul berniat untuk
menulis maka motivasi terbaik adalah “tulislah”. Apapun hasilnya “tulislah”.
Bagaimanapun bentuknya “tulislah”. Sebab jika anda terlalu jauh mengkhawatirkan
tulisan anda maka tulisan anda tidak akan pernah tercipta. Motivasi menulis
terbesar adalah “motivasi diri anda sendiri”. Jika bukan anda yang memotivasi
diri anda untuk menulis lantas siapa lagi?. Maka dari itu “mulailah menulis”.
Langganan:
Postingan (Atom)