by: Khabibul Umam - Mahasiswa Ilmu Perpustaakaan Fakultas Adab dan Ilmu Budaya UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Senin, 28 Oktober 2019

Kutulis doaku untukmu



(sumber gambar: makassar.tribunnews.com)

#Cukuplah aku dan Dia yang tahu ikhtiar dan doaku, kalaupun toh takdirnya pastilah akan ada jalannya

Tulisan adalah bahasaku, hidupku, doaku. Kalau disuruh memilih antara mengungkapkan lewat ucapan atau tulisan, aku lebih suka memilih tulisan. Melalui tulisan aku bisa mencurahkan segenap ideku tanpa takut melupakannya, dan jika suatu saat aku ingin mengingatnya kembali aku tinggal membacanya.
Namun, menulis itu gampang-gampang susah. Anganku sudah melayang kemari memikirkan ide yang akan kutulis, namun saat berhadapan dengan office word seolah aku amnesia. Tanganku kikuk tak mau menuliskan apa yang kupikirkan. Belum lagi saat suasana hati tak mendukung.
Usiaku baru menginjak 22 tahun, wajarlah kalau pikiranku masih labil. Soal idealisme, soal cita-cita, soal masa depan, sudah saatnya bagiku untuk serius memikirkannya. Apalagi urusan hati. Heeeeeh, bukan perkara mudah untuk menguasai keadaan hati yang tak karuan untuk mencurahkan tulisan. Lebih-lebih tulisan ilmiah, rasa-rasanya aku harus mengubah mode nonaktif untuk hatiku agar aku bisa menulis.
Yaa muqollibal quluub, tsabbit qolby ‘ala diinik. Hatiku tengah digundahkan oleh sebuah jalinan. Mungkinkah aku harus diam?!, mungkinkah aku harus berkirim pesan?!, mungkinkah harus kusegerakan?!. Lingkungan mendorongku untuk segera bergerak. Dan aku harus bersikap.
Dan inilah sikapku.


“Perhatian bukan berarti harus selalu berkirim pesan,
Tak bertanya kabar pun bukan berarti tak perhatian,
Kepercayaan menjadi awal sebuah komitmen,
Namun, komitmen tidak sesederhana itu,
Komitmen juga butuh ikhtiar,
Ikhtiarku…
Kutuliskan doaku untuku,
Dan juga untukmu,
Masih ada waktu,
Untuk berbenah diri,
Untuk memperkuat iman dalam hati,
Untuk memperdalam akhlak islami,
Ikhtiarku…
Bismillah, tawakkaltu ‘alaAllah…
Kupasrahkan semua pada-Mu…

0 Comments:

Posting Komentar